Tuesday, May 27, 2025

[REVIEW] Coming Home


Coming Home
Sefryana Khairil
Lekha Media
456  Halaman

"Kadang-kadang kita lupa mempersiapkan diri menerima kekalahan. Mungkin karena kita terlalu banyak berharap yang baik-baik, jadi bingung berbuat apa saat menghadapi yang terburuk.”


B L U R B

AMIRA

Lima tahun sudah aku menata hati setelah perceraian yang menyakitkan. Aku siap membuka lembaran baru bersama seseorang yang aku harapkan tidak akan menorehkan luka lagi.

Tanpa pernah kusangka, mantan suamiku pindah ke Yogyakarta bersama putri kecilnya yang menjadi muridku. Kehadiran mereka mau tak mau membuka kembali luka yang susah payah kututup.
Namun, mengapa perlahan bidadari mungil itu membuatku... jatuh hati?

Tidak, aku tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Hanya saja, aku tidak bisa menghindari ketika hatiku tergugah melihat perubahan sosoknya, jauh dari dirinya yang dulu.

Tetapi, aku terlalu takut terluka lagi.
Dan, aku tidak mau menyakiti hati yang lain.


RAYHAN

Aku pernah berada di atas. Namun, aku tidak pernah tahu akan adanya angin kencang yang mengempaskanku begitu saja. Aku kehilangan semuanya. Putriku adalah sumber kebahagiaanku satu-satunya. 

Setelah semua berantakan, kuputuskan membawa putriku pindah ke Yogyakarta. Tanpa pernah kuduga, di sana aku bertemu dengannya, mantan istriku yang kini menjadi guru putriku.

Kedekatannya dengan putriku membuatku terenyuh. Aku berusahan mendapatkan maafnya, hingga tanpa sadar aku menginginkannya kembali.

Tetapi, aku tahu diri, aku tidak bisa menjanjikan apa pun. 
Dan, mungkin kebahagiaannya bukan bersamaku.

- - - - - - - - - -

Bagaimana rasanya menjanda di umur yang bisa dibilang masih muda? Jangan tanya pada Amira. Rasa kesalnya masih tersisa. Dulunya, Amira sangat yakin bahwa pernikahannya hanya akan terjadi satu kali seumur hidup. Sepertinya itu hanya mimpinya, karena suami yang pernah sangat dia sayangi berselingkuh. Jangan tanyakan seberapa kecewa Amira, saking kecewanya, Amira kesulitan untuk membuka hatinya kembali.
”Hidup, mati, jodoh nggak ada yang tahu. Dulu kalian berpisah, mikirnya sudah nggak jodoh, terus Gusti Allah ketemuin kalian lagi dan ternyata masih berjodoh. Nggak ada yang tahu, kan?” — P. 242
Kepulangan Rayhan ke Yogyakarta ternyata membuatnya punya harapan kecil. Kembali menemukan bahwa Amira—mantan istrinya, yang ternyata masih belum menikah, membuat Rayhan bersemangat untuk mencari cara agar bisa dekat kembali dengan Amira.

Yang tidak Rayhan perhitungkan adalah bagaimana kalau status Amira hanya belum menikah, tapi dia sudah memiliki pengganti? Selain itu, apakah Amira bisa menerima putrinya?


Siapa yang suka baca novel tentang kehidupan rumah tangga? Aku mau ngacung paling tinggi! Buatku, cerita kehidupan after married selalu lebih menarik. Soalnya kita bisa dapat banyak insight kira-kira kalau menikah tuh halangannya apa aja sih? Seringnya masalah pernikahan itu berkutat dengan ekonomi, anak, mertua, dan karier. Nggak jauh beda dengan kenyataannya.

Buatku yang commit untuk menikah sekali seumur hidup, keputusan Amira-Rayhan jelas bikin aku bertanya-tanya. Awalnya aku sempat bingung, Amira yang segini baiknya, kenapa bisa cerai dari Rayhan? Apa kekurangan Amira? Sambil baca pelan-pelan, lambat laun aku sadar, masalahnya bukan di Amira, tapi di Rayhan. Sumpah ngeselin banget Rayhan ini.

Dengan alur yang maju-mundur, kita diajak untuk melihat kembali permasalahan Amira-Rayhan, apa penyebab mereka sampai memutuskan untuk bercerai. Nggak hanya itu, kita juga diajak untuk melihat perjuangan single dad. Biasanya kita hanya tau single mom, dan perjuangan seorang ibu yang mampu untuk menjadi sosok ibu sekaligus ayah untuk anaknya. Tapi single dad? Dari sekian judul buku yang aku baca, baru ketemu ini kayaknya. Dan ternyata seorang ayah kelimpungan banget ya kalau nggak ada istri yang mendampingi. Mungkin ini karena laki-laki itu nggak didesain untuk merawat seajeg perempuan, jadi instingnya cukup berbeda. Meskipun ada juga laki-laki bisa juga seajeg perempuan.

Perselingkuhan memang nggak termaafkan. Aku setuju, karena menurutku selingkuh itu penyakit yang kayak malaria, kalo nggak fit, bakalan kambuh lagi, kambuh lagi. Sama kayak selingkuh kan? Akan selalu ada excuse untuk kembali melakukan perselingkuhan. Dan aku percaya, kalo perselingkuhan itu yang bisa menyelesaikan ya hanya pelakunya. Selama pelakunya nggak mau mengakhiri, ya selamanya dia akan berada di lingkaran setan.

Selama baca, jujur aku kesel bangetbangetbanget sama Rayhan. Menghindari masalah, malah dia nyemplung dan tenggelem sama masalah yang dia buat sendiri. Tapi pas Rayhan terpuruk, aku juga kasian. Karena dia bener-bener sendirian, nggak ada yang bisa disambatin, dijadiin sandaran. Baru dari sanalah dia sadar, bahwa masalahnya sama Amira dulu tuh bisa nggak sampai selingkuh dan bercerai. Memang ya, yang namanya penyesalan selalu datang belakangan.

Dari Coming Home ini aku belajar banyak sekali kalau sudah menikah, ego sebaiknya diturunkan. Banyak yang bilang, menikah itu sebenernya memperbesar toleransi kita. Tapi tentunya setiap orang punya batasnya sendiri, dan komunikasi tetep yang paling utama.


From the book…
“Jar, ternyata kamu benar. Semakin jauh kita mengejar sesuatu, semakin sesuatu itu tak tergapai.” — P. 61

“Mira, dengar baik-baik. Hati itu beda sama otak. Kalau otak bisa diajari, tapi hati nggak. Dan hati nggak bisa berbohong, dia selalu tahu siapa yang dicintai.” — P. 101

“Kadang kita nggak sadar kalau sesuatu yang nggak kita senangi ternyata yang paling mampu membuat kita kuat.” — P. 159

“Aku merasa lucu, Mir. Terkadang, kit menginginkan sesuatu yang kita miliki untuk nggak pernah hilang. Tetapi, kita lebih sering lengah dan nggak sadar sesuatu itu sebenarnya sudah hilang.” — P. 163

“Kadang-kadang kita lupa mempersiapkan diri menerima kekalahan. Mungkin karena kita terlalu banyak berharap yang baik-baik, jadi bingung berbuat apa saat menghadapi yang terburuk.” — P. 164

“Ketika seseorang tahu tempat di mana dirinya merasa bahagia, sesulit apapun, asalkan bisa terus berada di tempat itu, pasti akan dilakukannya. Iya, kan?” — P. 179

“Hidup, mati, jodoh nggak ada yang tahu. Dulu kalian berpisah, mikirnya sudah nggak jodoh, terus Gusti Allah ketemuin kalian lagi dan ternyata masih berjodoh. Nggak ada yang tahu, kan?” — P. 242

Monday, May 19, 2025

[REVIEW] The Name of The Game

The Name of The Game
Adelina Ayu
Bhuana Sastra
331 Halaman

"Kadang, cowok tuh malah lebih ribet daripada cewek, ya? Mungkin karena mereka dituntut untuk selalu terlihat jantan, makanya nggak mau memperlihatkan sisi kalau mereka juga peduli dengan penampilan.”


B L U R B

Zio:
Wangi vanila. Mencintai supermarket. Nggak mengerti kenapa semua orang menyukai Daryll.

Daryll: 
Milo kaleng. Penggemar setia Sheila on 7. Nggak mengerti kenapa Zio anti dengannya.

Flo:
Kelopak bunga bluebell. Benci hujan. Terjebak di antara dua pilihan.

Sejak SMP, Zio hanya punya satu keinginan: mengalahkan Daryll dalam hal apa pun. Dan saat Daryll mendekati seorang mahasiswa baru yang juga dia sukai, Zio nggak menyangka kalau dia akan terlibat dalam sebuah permainan yang selalu dia hindari dengan rival abadinya; tentang arti menjadi laki-laki, persahabatan, dan cinta.

- - - - - - - -

Bagi semua cewek, berteman dengan Zio itu menyenangkan. Dia bisa ikut menggosip, berbagi makanan, dan tentu saja mengerti banyak sekali jenis skincare. Sayangnya, di mata para laki-laki, dia ini melenceng jauh dari yang seharusnya. Laki-laki ya harus terlihat gahar, apa itu skincare? Selama ini, Zio tidak peduli, yang dia pedulikan hanya tindak tanduk Daryll, sahabat sekaligus rival abadinya sejak SMP.

Bagi Daryll, berteman dengan Zio dan Shaien cukup menyenangkan. Mereka bisa saling menasehati dan memberi masukan satu sama lain. Tentu saja ini dia lakukan dengan Shaien, kalau dengan Zio, jelas banyak berantemnya. Dia sendiri heran, kenapa Zio sangat membencinya. Yang dia tidak tau, ternyata mereka mendekati satu mahasiswa yang sama, Flo. 
"Lo juga. Jangan mau merendahkan diri lo karena lo cewek. Jangan mau diatur-atur sama cowok atau siapa pun. Lo bebas melakukan apa yang lo mau, selama lo nggak merugikan orang lain.” — P. 287
Bagi Flo si mahasiswa baru, mengenal Daryll dan Zio merupakan hal yang menyenangkan, meskipun keduanya punya sifat dan sikap yang bertolak belakang. Bagi Flo nggak masalah, karena ini ternyata menjadi jalan mulusnya mengenal seluk beluk kampusnya. Tapi gimana kalo Flo ternyata suka smaa salah satu dari mereka?


Siapa yang suka beli buku buat ditimbun aja? Ngacung bersamaku! Aku beli The Name of The Game ini setelah aku membaca Happy Ending Machine. Memang, untuk baca ini nggak harus berurutan kok. Bisa mulai dari Happy Ending Machine dulu, tau The Name of The Game dulu, pokoknya jangan ke Witching Herts aja. Info dari penulisnya beda. Hihihi..

The Name of The Game ini menurutku cerita yang mengangkat kesenjangan sosial antara perempuan dan laki-laki. Bahkan sampai hari ini pun, masyarakat masih banyak banget yang menilai kalo cowok tuh kudu macho, berotot, gagah, nggak pake skincare, body lotion, dan berbagai perawatan lainnya. Padahal ya, merawat tubuh kan genderless, cowok atau cewek ya juga harus merawat tubuh dengan baik. Sementara kalau cewek yang tomboi, juga kadang salah, terlalu kecowok-cowokan, nggak sesuai kodratnya. Serba salah kan?

Nggak hanya mengangkat isu gender, tapi juga membahas tentang latar belakang persahabatan ketiga cowok gemes ini. Apa aja keresahan mereka dan bagaimana kehidupan mereka selama ini. Cukup menarik, apalagi ketiganya bener-bener beda banget kepribadiannya. Daryll yang misterius, selayaknya cowok pada umumnya, dan sangat mencintai milo ; Zio yang super higienis, dan sangat mencintai vanila; Shaien yang sangat amat tenang. 

Selama membaca, kita diajak lebih menyelami dunia antara Daryll sama Zio, karena Shaien sudah ada bagiannya sendiri. Bagaimana tanggapan orang-orang terhadap Zio, dan bagaimana pemikiran Zio. Kalau sisinya Daryll, dia emang semisterius itu. Gemes banget sama Daryll deh. Sementara Flo di sini ya ampun, mengingatkan aku pas masa baru-baru lulus SMA, kalo pas lagi suka-sukanya bisa ngstalk banget, bisa kepoin segalanya tentang dia.

Buatku, tokoh Zio paling menarik! Mungkin buat sebagian orang Zio ini annoying ya. Tapi buatku, Zio bener-bener jadi dirinya sendiri, nggak pusing sama omongan orang. Meskipun omongan orang kadang nyakitin hati ya. Tapi dia berusaha untuk tetap jadi dirinya sendiri. Luv banget sama Zio!


From the book...
"Hidup itu kadang membosankan, Flo. Makanya, kita harus bikin hidup lebih berwarna dengan mencari kebahagiaan dari hal-hal kecil, kayak mencari inspirasi dari label komposisi pada produk-produk rumah tangga” — P. 31

“Membiasakan diri dengan lingkungan baru jauh lebih menyenangkan daripada mengerjakan tugas-tugas di semester tua, kok. Mumpung masih semester satu, lo harus bagusin nilai lo dan cari temen sebanyak mungkin.” — P. 33

“Benar juga. Kenapa, ya? Cewek nggak marah kalau dibilang tomboi, tapi kalau cowok dibilang banci, ngamuknya langsung kayak apaan tauk. Padahal cewek sama cowok itu kan sama-sama manusia. Terus kenapa cowok harus marah kalau dibilang kayak cewek?” — P. 108

“Karena gue mau lo tahu, lo nggak perlu melawan Daryll cuma untuk jadi juara. Lo udah jadi pemenang dengan cara lo sendiri.” — P. 151

“Kadang, cowok tuh malah lebih ribet daripada cewek, ya? Mungkin karena mereka dituntut untuk selalu terlihat jantan, makanya nggak mau memperlihatkan sisi kalau mereka juga peduli dengan penampilan.” — P. 167

“Padahal menurut gue, hal itu nggak perlu. Setiap orang, cewek ataupun cowok, siapa sih yang nggak mau cakep? Dan kalau mau cakep, ya harus usaha. Makanya gue nggak ngerti kenapa mereka harus sembunyi-sembunyi cuma untuk nyisir.” — P. 167

“Karena di dunia ini memang nggak ada yang sempurna, dan hati kita ditakdirkan untuk terus mencinta. So, you have to deal with it.” — P. 219

“Karena menurut aku, kita itu bisa berubah, entah jadi lebih baik atau buruk karena orang yang kita suka. Emang sih kedengarannya dangkal banget, tapi siapa sih yang bisa ngasih kita pengaruh besar kalau bukan orang yang kita suka?” — P. 244

“Katanya, warna, fashion, olahraga, seni, dan lain-lain itu genderless. Nggak ada yang namanya warna khusus diciptakan buat cewek atau cowok. Kita bebas memilih apa pun yang kita mau. Konstruksi sosal yang seenaknya memisahkan mana yang untuk cowok, mana yang untuk cewek. Padahal mah yang kayak gitu tuh nggak ada.” — P. 285

“Lo juga. Jangan mau merendahkan diri lo karena lo cewek. Jangan mau diatur-atur sama cowok atau siapa pun. Lo bebas melakukan apa yang lo mau, selama lo nggak merugikan orang lain.” — P. 287