Sunday, September 21, 2025

[REVIEW]Fall, Winter & Spring



Fall, Winter & Spring
Nancy Dinar
Stiletto Book
273 Halaman

”Apa pun masalah kita, itu hanya sementara karena semua di dunia ini hanya sementara. Hadapi semua dengan berani dan tabah. Saat kamu kehilangan sesuatu, Tuhan selalu punya penggantinya. Kalau kamu kuat, kamu akan segera tahu itu. Untuk itu jangan kehilangan pengharapan.”


B L U R B


”Kadang, untuk menemukan arti hidup, seseorang harus lebih dulu berdamai dengan kematian.”


Divonis mengidap tumor otak, Zuri meninggalkan segalanya—termasuk warisan keluarganya—untuk mengejar dua impian terakhir di Korea Selatan. Namun, musim gugur di Seoul menghadirkan pertemuan-pertemuan yang tak ia duga.

bersama para buruh migran, wanita kawin campur, dan pejuang kemanusiaan yang tanpa pamrih, Zuri menyaksikan kerasnya kenyataan hidup yang selama ini jauh dari dunianya. Dari kemiskinan, diskriminasi, hingga ketidakadilan—semua membuka matanya bahwa cinta, perjuangan, dan keberanian bisa tumbuh di tempat paling gelap.


Di tengah salju musim dingin dan harapan musim semi, Zuri bukan hanya menemukan makna baru dalam hidup…tapi juga cinta yang diam-diam telah menunggunya.


- - - - - - - - - -


Divonis mengidap tumor otak dengan masa hidup kurang lebih lima sampai enam bulan membuat Zuri memilih untuk menghabiskan waktunya dengan mencoret salah satu bucketlistnya—melakukan rhinoplasty. Dia sudah melakukan riset, dan Korea Selatan adalah pilihan terbaiknya. Zuri juga sudah mencari tahu dimana dia akan menginap, klinik tempatnya melakukan operasi, dan siapa agen yang bisa membantunya.

”Menurutku, cinta punya kekuatan untuk menyembuhkan dan memberi pengharapan.” — P. 75

Ketika Zuri tiba di Korea, ternyata dia bertemu dengan salah satu orang Indonesia yang sedang melakukan perawatan di klinik tersebut. Dari sinilah, Zuri yang awalnya berencana dua minggu saja jadi memperpanjang masa berkunjungnya di Seoul.


Sayangnya, kesehatan Zuri sedikit menghambat. Zuri sempat dirawat di rumah sakit Seoul dan membuatnya mendapat perawatan dari salah satu dokter yang juga memliki jadwal kunjungan ke Indonesia, tak hanya itu, di sana dia juga bertemu dengan seorang Ibu dari salah satu yayasan yang siap membantunya selama di Korea Selatan.



Kisah Zuri mengingatkanku pada kisah mamaku beberapa waktu lalu. Beliau sempat mengidap penyakit kanker payudara, yang kemudian jadi tiroid. Beruntungnya, kami bertemu dokter yang bisa menyembuhkan penyakitnya mama. Itu perjalanan yang panjang banget sih. Karena hormonal, jadi harus bener-bener memastikan kondisi hormon stabil, kondisi tumornya juga stabil, jadi pas dioperasi, masih aman.


Awalnya, aku mengira Zuri ini anak yang suka memberontak, apalagi masa lalunya cukup membekas di hatinya. Dia sendiri juga hanya dekat dengan sepupunya, Viona. Karakter Zuri bener-bener keras sih. Aku juga sempat kaget pas dia memutuskan untuk pergi ke Korea, habisnya, orang yang hidupnya nggak akan lama lagi, biasanya memang memilih untuk melakukan apa yang selama ini nggak sempat dilakukannya, tapi melakukan perjalanan jauh? Bisa dibilang nekad.


Menurutku, Zuri bener-bener beruntung. Mulai dari pertemuannya dengan salah satu pelanggan di klinik, sampai akhirnya bertemu dengan Ibu Kim—ketua yayasan. Nggak banyak yang seberuntung Zuri.


Aku suka sekali dengan penggambaran Korea Selatan yang cukup detail, mulai dari tempat wisatanya, cuacanya, dan budaya. Sayangnya untuk beberapa penyebutan, sepertinya ada kesalahan penulisan. Hehe.. Tapi overall tidak begitu mengganggu saat membaca kok.


Dari Zuri, aku belajar bagaimana cara untuk lebih menikmati hidup dan melihat sisi lain kehidupan. Seringnya, ketika kita udah kepentok satu masalah, kita merasa kalau dunia kita tuh bakalan segitu aja, nggak ada jalan keluar lainnya, semua pintu tertutup. Padahal, kalau kita mau menarik napas, berpikir sebentar, nggak terlalu gegabah, kita bisa kok melihat sudut pandang dari masalah kita tuh sekarang apa. Dan jangan lupa, selalu cari opini lain kalo ada sakit penyakit. Nggak semua vonis dokter langsung ditelen mentah-mentah. Apalagi jaman sekarang udah jauh lebih maju, jadi kita bisa menggali setiap kemungkinan, dan kesempatan yang bisa dicoba.




From the book…

”Cinta itu kan ikatan hati. Perlu saling mengenal satu sama lain. Mengenal seseorang nggak cukup dari foto. Justru kenalan lewat foto itu superfisial buatku. Kan, setiap orang maunya posting yang bagus-bagus saja. Banyak yang tertipu karena profil di medsos dan aslinya jauh berbeda.” — P. 13


”Pandangannya tentang dunia mulai berbeda. Jika kecantikan bisa dibeli dengan mudah, maka itu bukan suatu yang berharga. Jika semua orang bisa memilikinya, berarti itu bukan suatu yang istimewa. Jika semua orang menjadi cantik maka kamus harus menghapus kata “cantik” karena kata itu tidak lagi bermakna.” — P. 48


”Hidup ini kadang kejam, Zuri. Tapi kita diberi kekuatan untuk bertahan. Setiap kali ada cobaan, sama dengan latihan beban yang akan buat otot-otot kita jadi lebih kuat.” — P. 53 to 54


”Menurutku, cinta punya kekuatan untuk menyembuhkan dan memberi pengharapan.” — P. 75


”Kamu harus percaya diri, Zuri. Itu adalah modal utama kita sebagai wanita. Laki-laki tidak mudah mempermainkan wanita yang percaya diri. Mereka akan menghargai kita dan tidak berani macam-macam. Kita harus menunjukkan bahwa sebagai wanita… mmhh, kita makhluk yang kuat.” — P. 177


”Padahal baik penulis maupun seniman adalah orang-orang yang punya bakat dan kecakapan khusus, seharusnya mereka lebih dihargai. Siapa saja bisa jadi dokter, tapi tidak semua orang bisa menjadi penulis atau seniman. You’re doing a good job.” — P. 186


”Kita harus bisa membedakan sendirian dan kesepian. Sendirian kadang bukan pilihan, tapi kesepian adalah pilihan. Kita memilih apa yang dirasakan hati kita. Yang ada di sekeliling kita sebenarnya hanya sarana yang seharusnya kita manfaatkan bukan persalahkan.” — P. 212


”Apa pun masalah kita, itu hanya sementara karena semua di dunia ini hanya sementara. Hadapi semua dengan berani dan tabah. Saat kamu kehilangan sesuatu, Tuhan selalu punya penggantinya. Kalau kamu kuat, kamu akan segera tahu itu. Untuk itu jangan kehilangan pengharapan.” — P. 235


”Sering kali orang yang paling murah hati bukan orang kaya, tapi orang yang kekurangan. Demikian juga orang yang paling suka menolong bukan yang hidupnya nyaman, melainkan mereka yang menderita. Penderitaan membuat manusia lebih peka, dan kepekaan seperti ini seperti bahan bakar emosi untuk mengulurkan tangan.” — P. 240


”Yang penting kuncinya satu, kita jangan hidup untuk diri sendiri. Selama hidup untuk berbagi, menolong orang lain, hidup akan jadi lebih hidup.” — P. 257


No comments:

Post a Comment