Friday, April 19, 2024

[REVIEW] Savanna & Samudra

 

Savanna & Samudra
Ken Terate
Gramedia Pustaka Utama
352 Halaman

"Ah, jadi dewasa memang menyebalkan. Aneh ya, dulu aku ingin cepat-cepat dewasa, tapi setelah aku dua puluh tahun, sumpah, aku ingin menjadi anak tiga belas tahun aja."


B L U R B

Setelah papanya meninggal, Savanna—mahasiswi cemerlang yang terbiasa hidup serbamudah—dihantam masalah bertubi-tubi: kehilangan pacar, putus kuliah, dan berurusan dengan penagih utang. Namun, ujian terberatnya adalah bekerja sebagai pelayan kedai susu.

Di kedai, dia bertemu Alun, cowok norak, gaptek dan tak bisa meng-update Facebook. Cowok itu memang mencerahkan harinya, tapi juga memperumit masalahnya. Sava tersentak menyadari cinta ternyata bisa mengkhianati akal sehat. Masa sih dia jatuh cinta pada Alun, cowok desa yang tak pernah kuliah dan melarat? Di sisi lain, Harris—mantan pacar Sava yang sempurna—muncul kembali. Hal itu membuatnya bingung mana yang harus dia pilih: cinta atau logika?

Selain itu, Sava tidak mau menjadi pelayan seumur hidup, tapi dia juga tidak tahu apa yang diinginkan dalam hidupnya. Lantas, adakah jalan lain yang bisa dia tempuh? Dan.. apa yang harus Sava lakukan?

- - - - - - - - -

Kehidupan Savanna berubah total sejak ayahnya meninggal. Ia harus sambil bekerja untuk mencukupi kehidupannya, adiknya dan juga ibunya. Ibunya pun punya kehidupan yang tidak jelas. Bisa ada di rumah, bisa juga pergi dan entah kapan pulang. Tidak ada lagi Savanna yang punya cita-cita, apalagi si anak pintar. Sungguh sedikit banyak, dia merindukan kehidupan lamanya.
"Iya. Masa kamu nggak tahu? Papamu itu orang bank. Sudah jelas dia punya segala macam asuransi buat kalian. Juga reksadana. Aku tahu persis papamu punya. Juga deposito. Bunganya pun aku yakin bisa menghidupi kalian. Ke mana itu semua? Kenapa kamu dan Tyo jadi terlantar kayak gini? Jadi wajar kalau kami jadi ogah-ogahan membantu, kan? Kami kepingin membantu dan sudah membantu, tapi mamamu bertingkah seperti itu." P 67
Pekerjaan Savanna saat ini menjadi seorang pelayan di sebuah kedai susu. Memangnya apa yang bisa diharapkannya dari anak lulusan SMA dan masih kuliah setengah perjalanan? Bagi Savanna, kedai susu ini seperti tidak ada harapan. Terkadang ramai di saat-saat tertentu, pegawainya pun hanya ada 3, dirinya, Alun, dan Koh Abeng yang bertugas sebagai Chef.

Bagi Savanna, kedai susu ini seperti tidak ada harapan bagi masa depannya. Apakah dia akan selamanya terjebak di kedai susu ini? Tapi anehnya, perlahan dia mulai menemukan cerita tentang Alun dan Koh Abeng. Apakah dia akan mengubah pandangannya?


Sejak awal membaca kisah Savanna, nggak tau kenapa aku bete banget sama dia. Karena dia terbiasa hidup enak dan nyaman, jadi pas kehidupannya berubah dia tuh banyak banget sambatnya, banyak ngeluhnya. Apa-apa ngeluh, kerja di kedai susu ngeluh. Jadi kesel banget pas baca. Tapi ternyata, ibunya Savanna ini jauh lebih ngeselin! Karena kehidupannya berantakan. Maksudku, kalau memang mau berantakan, ya berantakan sendiri aja. Jangan ngajakin anak-anakmu. Mereka kan masih perlu sekolah, minimal sampe mereka selesai sekolah lah.

Novel ini menurutku merakyat banget lah. Dekat dengan kita. Bagaimana Savanna dan segala kerumitan hidupnya, Alun yang dikira Sava sering menggoda dan kudet banget, dia menyimpan banyak cerita yang tidak pernah diceritakan ke siapapun. Sementara Koh Abeng pun, meskipun dari luar terlihat baik-baik aja, nyatanya dia juga punya mimpi yang lain.

Nggak hanya cerita tentang Savanna, di sini kita juga diajak jalan ke masa lalu ibunya Savanna. Bagaimana dia akhirnya bertemu dengan ayahnya Savanna, sampai kehidupan mereka yang saat ini. Juga bagaimana cara ayahnya Savanna memperlakukan istrinya.

Setelah membaca ini tuh semakin disadarkan bahwa apa yang kita lihat dari luar, nggak tentu artinya tuh kayak gitu. Ketika melihat orang lain bahagia, belum tentu dia sepenuhnya bahagia, belum tentu memang itu yang diinginkannya. Makanya aku bilang novel ini sangat dekat dengan kita. Super recomended, meskipun di awal bakalan kesel banget sama tingkahnya Sava dan juga Harris, mantannya Sava.
 
Ah terakhir, milikilah mimpi yang ingin sekali kamu wujudkan. Meskipun nggak tau kapan akan kamu wujudkan, atau nggak tau jalan ke sananya gimana, tapi tetap bawa mimpi itu. Supaya kamu tetap punya alasan untuk hidup dan terus berjuang untuk mimpi itu.


From the Book...
"Punya anak bukan berarti kamu otomatis jadi orangtua, sama halnya punya piano, bukan berarti kamu serta-merta jadi pianis." P. 98

"Tepat sekali. Mereka juga nggak pernah menjelaskan hal-hal rumit. Kalau kita butuh sesuatu, maka sesuatu itu akan tersedia, entah bagaimana caranya. Kalau kita sakit, mereka bawa kita ke dokter lalu kita sembuh. Kalau kita punya masalah, entah dengan cara apa, mereka yang menyelesaikannya. Kita tahu beres. Tapi begitu kita dewasa, kita tahu sebenarnya nggak sesederhana itu. Sebelumnya aku nggak tahu bahwa hidup ini penuh masalah. Aku nggak tahu telepon harus dibayar, kalau nggak sambungannya bakal diputus." P 103

"Ah, jadi dewasa memang menyebalkan. Aneh ya, dulu aku ingin cepat-cepat dewasa, tapi setelah aku dua puluh tahun, sumpah, aku ingin menjadi anak tiga belas tahun aja." P. 103

"Nduk, hidup itu rangkaian masalah. Kita cuma melompat dari masalah satu ke masalah yang lain. Tapi, seenggaknya kita bakal melompat, ya kan? Tenang aja, badai pasti berlalu. Nggak ada ada badai yang nggak berhenti." P. 123


Monday, April 15, 2024

[REVIEW] Awan-Awan di Atas Kepala Kita

Awan-Awan di Atas Kepala Kita

Miranda Malonka

Gramedia Pustaka Utama

392 Halaman

"Cinta bentuknya macam-macam, Alejandro. Ada yang terlalu mencintai orang lain. Ada yang terlalu mencintai orang lain."


B L U R B

Benjamin Iskandar sedang berulang tahun yang kesembilan belas ketika dia memutuskan bunuh diri, di saat yang sama Kirana Kharitonova kebetulan lewat dan menyelamatkannya.

Benjamin dan Kirana datang dari dunia yang berbeda.
Latar belakang mereka berbeda, Kepribadian mereka bagaikan kemarau dan mendung. Harusnya, tak mungkin mereka bisa bersahabat.

Namun, kenyataan berkata lain. Bahkan, setelah rahasia demi rahasia terbuka, kini tak lagi jelas siapa sebetulnya yang sedang berlari, dan siapa yang butuh diselamatkan.

- - - - - - - - - -

Bagi Benjamin, kehidupannya tidak menyenangkan. Mungkin semua orang mau berada di posisinya. Memiliki banyak privilage dengan uang yang dimiliki orang tuanya. Tapi bagi Ben, itu semua membosankan. Dia tidak memiliki teman baik, tidak tertarik juga untuk mencarinya. Karena dia tau, ketika orang mendekatinya, itu untuk sesuatu hal yang dimilikinya, bukan tentang dirinya, bukan tentang hubungan baik dengannya.
"Lo nggak percaya? Silakan. Lo boleh kaget, tapi lo harus tahu kalau nggak semua orang punya temen dan keluarga." P. 27
Bagi Karina, menyelamatkan Ben adalah sebuah keharusan. Dia tidak peduli jika karena misi ini dia harus viral selama beberapa hari karena misi penyelamatan ini. Kian—sahabat Kirana—bahkan sampai kehabisan kata-kata. Setelah misi penyelamatan itu, Kirana terus berusaha untuk menjadi teman Ben, walaupun Ben juga cukup cuek dan berusaha menjauhkan Kirana.


Kisah Kirana-Ben kurasa sering kita temukan di sekitar kita. Si kaya dan si miskin, salah satu dari mereka pasti tidak puas dengan kehidupan yang dijalaninya. Kali ini Ben, si kaya yang tidak puas, bahkan bisa dibilang dia menjalani kehidupan yang membosankan. Rutinitasnya hanya itu-itu saja. Nggak ada sesuatu hal baru atau mungkin hal yang membuatnya semangat buat menjalani hari. Rasa-rasanya, meninggal hari itu dengan cara apapun juga tidak ada yang peduli.

Sementara Kirana, dia hidup bersama dengan tantenya yang sangat sayang dengan dia. Membebaskannya untuk melakukan apapun, selama hal itu tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Kirana cukup senang menjalani hidupnya. Tentu saja dia kadang iri dengan kehidupan Kian, sahabatnya yang kadang lebih bebas karena dia memiliki cukup uang, ketimbang dirinya. Tapi buat Kirana, hal itu nggak terlalu berpengaruh juga.

Alur maju mundur membuat kita perlahan mengetahui alasan-alasan yang sengaja disembunyikan. Entah oleh Ben atau Karina, hal apa yang kemudian membentuk mereka jadi pribadi yang saat ini. 
 
Konflik di sini nggak hanya tentang kehidupan Ben dan Kirana, tapi juga banyak membahas arti kehidupan yang sebenarnya, yang bittersweet, tapi juga bisa menyenangkan, bisa juga melelahkan. Sedikit juga disinggung hubungan toxic dalam pacaran, dan juga tentang mimpi yang pernah lewat kemudian terlupakan.
 
Tokoh yang aku suka di sini adalah Kian! Punya sahabat cowok itu memang semenyenangkan itu. Tapi perlu di note, kalau sahabatan, jangan sampe ada perasaan ya. Itu agak menyulitkan. Yang aku suka dari Kian adalah dia sahabat yang tahu diri. Tahu kapan harus maju, kapan harus diem aja walaupun geregetan. Dia siap banget ngebela sahabatnya yang ternyata punya hubungan toxic sama saudaranya sendiri, meskipun berujung hubungannya jadi jelek dengan keluarganya.

Part paling aku suka itu pas baca Kirana Today! Lucu banget, apalagi tujuan Kirana bikin koran kan kayak diarinya, jadi kayak curhatan gitu. Headline yang dibuat juga nggak kalah sama berita-berita di koran pada umumnya.

Saranku, saat membaca novel ini, mohon dalam kondisi yang tenang ya. Karena beberapa bagiannya cukup membuat kita bisa ketrigger.


From the book...
"Orang yang mau bunuh diri nggak harus selalu bertampang sedih. Hanya karena gue kelihatan normal, gue nggak harus bahagia. Tahu, kan, banyak komedian yang mati bunuh diri?" P. 24-25

"Sekali lagi, lo nggak kenal gue dan lo nggak tahu cerita hidup gue, oke? Sampai sekarang, semua orang yang pernah jadi temen gue terbukti fake. Lebih baik nggak punya temen sama sekali daripada punya seribu temen palsu." P. 27

"Okelah. Lo bisa milih temen, milih sahabat, milih sekolah, milih panutan. Tapi lo nggak bisa milih keluarga. Keluarga itu tempat hidup lo berputar. Keluarga pasti konstan. Mereka akan selalu ada." P. 28

"Tindakan lo hari ini mungkin bakal bikin si Ben itu nggak jadi bunuh diri, mungkin juga nggak. Lo haris menerima itu. Kita mungkin nggak bisa menyelamatkan semua orang asing yang lewat di jalan, tapi setidaknya kita sudah berusaha jadi orang baik untuk orang-orang di sekitar kita dan membuat hidup mereka jadi lebih baik." P. 43

"Lo nggak berutang apa-apa ke dunia ini, Kika. Lo nggak berkewajiban menyelamatkan siapa-siapa." P. 44

"Kebahagiaan dan kesedihan itu semu. Hasil interaksi saraf yang diperkuat hormon. Jadi, justru buat apa gue melakukan hal-hal remeh yang lo bilang tadi; mandi, makan, bernapas... kalau itu semua nggak ada maknanya?" P. 81

"Yah.. Memangnya kenapa kalau lo hanya pengisi kolom kosong? Hidup gue juga nggak 'penting', memang, tapi toh tetap bermakna. Bagi gue, yang penting bukan makna hidup, tapi fakta bahwa kita hidup, itu aja dulu." P. 85

"Takdir bikin kita kebetulan ketemu di jembatan itu, tapi setelah mikir semalaman, gue sadar takdir nggak akan terus-terusan ngasih berbagai macam kebetulan buat kita. Pada akhirnya, yang penting bukan apa kata takdir, tapi apa pilihan kita." P. 96

"Ini pelajaran buat lo. Tolong diri lo sendiri sebelum nolongin orang lain. Ben itu udah deasa, dia punya hak bikin keputusan sendiri. Dia jelas-jelas bilang ke gue untuk jangan mencari satu pun keluarganya yang nggak pedulian itu, jadi gue bantu dia sebisanya sesuai kapasitas gue, tapi nggak bisa lebih jauh lagi. Kita nggak berhak ikut campur, Kika." P. 195

"Bukannya kita semua gitu? Kita selalu tahu apa yang diinginkan orang lain, tapi kita jarang banget tahu apa yang kita sendiri inginkan." P. 201

"Kirana, jangan denial sama fakta hidup. Kita semua jelas takut mati. Hanya saja kita terlalu sombong untuk menyadari bahwa kita bisa mati setiap saat. Semua orang pura-pura bisa hidup seribu tahun, saking takutnya pada kematian. Semua orang menjalani hidup tanpa rela mengakui bahwa mereka bisa mati detik ini juga. Fakta bahwa hidup ini sangat singkat, sementara orang kayaknya selalu buang-buang waktu, betul-betul di luar logika gue." P. 201-202

"Gue nggak butuh semua orang pura-pura peduli, Kay. Satu orang yang sungguhan peduli udah cukup." P. 204

"Cinta bentuknya macam-macam, Alejandro. Ada yang terlalu mencintai orang lain. Ada yang terlalu mencintai orang lain." P. 282

"Kita nggak butuh berjanji dengan sahabat sendiri. Sahabat bukannya hanya menepati janji, tapi juga memberi rasa aman bahwa nggak ada yang perlu dijanjikan. Sahabat sudah tahu harus melakukan apa demi sahabatnya, tanpa perlu berjanji." P. 310-311