Thursday, July 3, 2025

[REVIEW] Ghosting Writer

Ghosting Writer
Aya Widjaja
Gramedia Pustaka Utama
312 Halaman

"Kita nggak bisa menyenangkan semua orang. Dan untuk meraih impian, mungkin harus ada yang dikorbankan supaya usaha kita nggak setengah-setengah.”


B L U R B

“Ghosting Writer? Nama pena apaan, tuh! Pasti dia cuma writer tukang ghosting pembaca alias nulis cerita nggak kelar-kelar!” Sebagai penulis di T3, salah satu platform menulis online, Wilma tidak bisa berhenti julid setiap kali mendengar Ghosting Writer disebut-sebut teman sekelasnya. Masalahnya, Wilma sudah lebih lama menulis di T3 dan susah payah mendapatkan peringkat tinggi dengan mempromosikan ceritanya ke semua media sosial dan mengikuti keinginan pembaca. Sedangkan Ghosting Writer bisa melampaui popularitas Wilma tanpa promosi atau bersusah payah. Argh! Nyebelin!

Belum lagi kakak kelasnya, Ganindra, terus-terusan mengganggunya tanpa alasan; meledeknya penjajah karena namanya mirip ratu Belanda zaman penjajahan, memanggilnya dengan merek minyak goreng, dan sering melempar gombalan-gombalan jayus yang bikin merinding. Ganindra ada masalah apa sih sama Wilma? Keisengan Ganindra bikin Wilma, yang sudah bete karena perkara Ghosting Writer dan peringkat T3, jadi makin mumet.

Duuh! Apa yang harus Wilma lakukan untuk menyingkirkan Ganindra dan memperbaiki peringkatnya di T3 yang dibalap Ghosting Writer?

- - - - - - - - - -

Sebagai penulis di sebuah platform, selain jumlah pembaca, rating juga salah satu hal yang cukup penting. Apalah arti sebuah karya kalau nggak ada pembacanya. Wilma, selama ini berhasil di platform T3 dengan rating yang bagus dan cukup terkenal. Kebanyakan ceritanya tentang anak sekolahan dan badboy yang cukup digandrungi pembaca T3.
Quality over quantity, Wil. Jauh lebih baik punya sedikit pembaca tapi setia ngikutin lo ke platform mana pun, mau ngasih lo feedback, rela ngeluarin effort demi baca tulisan lo, daripada punya banyak pembaca tapi nggak punya engagement lebih. Ayolah, belajar bersyukur dengan apa yang lo raih. Oke?” — P. 181
Kemunculan Ghosting Writer—salah satu penulis baru di T3, membuat Wilma mulai senewen. Ini bukan karena kemunculan idola baru semata, tapi peringkatnya yang bikin Wilma jadi waspada terus. Sementara Nehru—sahabat sekaligus ilustratornya malah menyuruhnya membaca karya Ghosting Writer, supaya Wilma bisa mencari tahu hal apa yang membuatnya jadi lebih menarik ketimbang ceritanya.


Dunia kepenulisan dan SMA. Dua hal yang menurutku sangat berkaitan, dan aku pernah mengalaminya. Dulu pas masih ramenya platform kepenulisan warna oren, di sana lah aku banyak banget bertemu orang, berorganisasi juga. Seru banget. Aku juga sempet nulis dan berorganisasi, tapi pas masuk masa kuliah, aku sekip, banting setir jadi bookstagram aja.

Bagi seorang penulis, jumlah pembaca, like, komen, dan rating yang posisinya stabil itu penting. Nggak cuma menunjukkan kalau karya kita bagus, tapi juga bikin bersemangat untuk menyelesaikan sampai ending. Hal itu juga yang dirasakan sama Wilma, apalagi kelebihan dalam ceritanya, dia juga menyisipkan gambaran potongan adegannya dengan ilustrasi Nehru, harusnya ini jadi daya jualnya dong. Pas ada penulis yang berhasil menyalip ketenarannya, dia jelas bingung. Selama ini aman-aman aja, kali ini kok ada yang berhasil menyalip secara langsung?

Ghosting Writer buatku sangat menarik. Bikin aku kembali ke duniaku dua belas tahun lalu (wow, ketauan banget umurnya berapa ya?). Dunia SMA yang dituliskan, nggak melulu ngebahas percintaan, badboy yang nggak pernah masuk kelas tapi dapet nilai bagus terus, atau pun anak salah satu pejabat. Bener-bener dunia SMA yang kita jalani sebenernya, mulai dari masuk sekolah, punya keinginan yang ditentang orangtua, punya aktivitas lain di luar sekolah. Pembahasan tiap karakternya juga bener-bener menarik. Wilma yang berkemauan keras dan nggak gampang nyerah, Nehru yang terlalu banyak dikekang, Ganindra yang punya masalah di rumah.

Dibalik sikap Wilma yang ngotot banget update cerita, mengusahakan keinginan semua pembacanya, ternyata tersimpan keinginan kecil yang tidak begitu disetujui orangtuanya. Dibalik sikap Nehru yang baik di depan Wilma, dia juga agak egois. Dibalik Ganindra yang tengil, tersimpan keinginan untuk membahagiakan mamanya.

Buatku, Ghosting Writer ini bener-bener komplit untuk kelas teenlit. Bikin kita mengingat lagi, apa yang kita inginkan, dan bagaimana cara meraihnya. Pemikiran untuk melakukan hal curang kalo kepentok itu pasti ada, tapi balik lagi, apa cara itu sudah benar? Apa itu keinginan semata, atau cuma karena iri? Banyak juga mengajarkan dunia kepenulisan yang baik itu gimana. Bikin aku jadi tergerak untuk menulis lagi.

Cara kak Ayu menulis bener-bener mengalir. Kita dibuat penasaran dengan setiap tindakan tokohnya, tapi dibuat gemes juga tiap mereka punya gebrakan baru. Setiap halamannya jadi nagih banget, nggak kerasa kita udah selesai aja. Penyelesaian masalah tiap tokohnya juga bikin senyum-senyum sendiri. Apalagi Nehru-Wilma. Duh pas baca kayak… gemes banget ni orang dua sahabatan. Sangat merekomendasikan untuk dibaca semua kalangan! Cerita yang ringan dan bikin senyum-senyum. Kayaknya kalo posisi bacanya di aku beberapa tahun lalu, cuma sehari, udah kelar ini.


From the book…
”Coba benchmarking. Baca cerita dia dulu, cari alasan apa yang bikin ceritanya digandrungi. Jangan cuma ngintipin halaman profil dia saja.” — P. 13

”Karena apa pun yang lo lakukan, sumber semangatnya harus diri lo sendiri. Bukan orang lain. Menggantungkan motivasi pada manusia cuma bikin kecewa. Lo harus punya suara lo sendiri. It’s okay buat bilang enggak atau punya pendapat sendiri.” — 86

”Gue nggak bilang lo nggak boleh terkenal atau dapet uang dari nulis, tapi jangan sampai kehilangan jati diri.” — P. 141

”Lo boleh ambis, tapi lo nggak boleh lupa cara terbaik buat meraihnya adalah memperbaiki tulisan lo sendiri.” — P. 193

”Itu lo ngerti. Isi hancur atau bungkus jelek itu biasanya salah orang lain. Bukan bermaksud nyalahin orang, tapi faktor dari luar memang penting pas pencarian jati diri kayak lo sekarang. Gue nggak punya pembelaan apakah bandel itu salah atau sah-sah saja, yang penting adalah bisa nggak kita keluar dari zona bandel dan jadi manusia bertanggungjawab?” — P. 244 to 245

”Lo kebiasaan lebih peduli pendapat orang daripada diri lo sendiri, dan menggantungkan kesenangan nulis pada popularitas yang didapat karena apresiasi orang lain. Lo ngejauhin gue juga pasti karena omongan orang, kan?” — P. 264

”Kita nggak bisa menyenangkan semua orang. Dan untuk meraih impian, mungkin harus ada yang dikorbankan supaya usaha kita nggak setengah-setengah.” — P. 294

No comments:

Post a Comment