Sisi Tergelap SurgaBrian KhrisnaGramedia Pustaka Utama304 Halaman
"Kalau dengan beragama lantas bikin kamu merasa lebih suci dan lebih tinggi derajatnya dari orang lain, sosok siapa yang kamu teladani selama ini? Siapa yang kamu sembah selama ini? Egomu?"
B L U R B
Jakarta kerap menjadi pelabuhan bagi mereka yang datang membawa sekoper harapan. Mereka yang siap bertaruh dengan nasibnya sendiri-sendiri. Namun, kota ini selalu mampu melumat habis harapan dan menukarnya dengan keputusasaan.
Pemulung, pengamen, pramuria yang menjajakan tubuh agar anaknya bisa makan, pemimpin-pemimpin kecil yang culas, lelaki tua di balik kostum badut ayam, pencuri motor yang ingin membeli obat untuk ibunya, remaja yang melumuri tubuh dengan cat perak, hingga mereka yang bergelut di terminal setelah terpaksa merelakan impiannya habis digerus kejinya ibu kota.
Di Jakarta, semua orang dipaksa bergelut dan bertempur demi bisa hidup dari hari ke hari. Dan di kampung inilah semua itu dimulai. Sebuah cerita tentang kehidupan orang-orang yang hidup di sisi tergelap surga kota bernama Jakarta..
- - - - - - -
Jakarta selalu menjadi tujuan banyak orang. Hidup di Jakarta selalu dianggap sukses, keren dan megah. Jadi banyak sekali para perantau yang berangkat ke Jakarta dengan harapan di Jakarta kehidupan mereka jadi lebih baik, yang mereka tidak tau, Jakarta ternyata nggak sesilau itu. Kehidupan di Jakarta cukup menyesakkan untuk sebagian orang.
Dari sebuah kampung di sudut kota Jakarta, semua cerita ini dimulai. Kampung ini terdiri dari berbagai macam manusia dengan berbagai latar belakang, dan juga pekerjaan. Ada Rini dan Juleha yang menjadi PSK, Syamsuar yang memilih untuk berdagang nasi goreng, Kuncahyo yang bekerja di mall, Danang yang bekerja kantoran, Bang Tomi si preman terminal, Karyo—manusia silver bersama dengan Pulung dan Jawa yang biasanya menghuni di pos ronda, Nunung dan Sobirin yang berjualan tahu jablay sambil menjaga Ujang, Tikno anak pak RT yang hidupnya nggak tentu.
"Kunci supaya biasa saja menghadapi semua hal aneh di kota ini ya dengan membiasakan diri dengan hal-hal yang nggak biasa. Jadi, jangan hakimi cara bertahan hidup orang-orang ya, Tom."
Setiap tokohnya punya banyak impian yang mereka bawa ketika ke Jakarta, bisakah mimpi itu terwujud? Atau malah jadi angan-angan yang disimpan saja?
Akhirnya membaca Sisi Tergelap Surga juga. Novel ini belakangan sering banget bermunculan di timelineku. Apalagi menurut review banyak orang, menarik.
Pertama kali membaca Sisi Tergelap Surga, kukira bakalan biasa aja. Apalagi menceritakan sisi kelam Jakarta. Siapa sih yang nggak tau kotornya Jakarta? Tapi dari sini kita lebih dibuka lagi matanya. Aku udah cukup kaget, karena bahasanya kasar, dan... wow, banyak sekali ya tokoh yang dipakai di sini. Karena memang beneran sekampung, dengan beragam karakter dan pekerjaan. Tapi hebatnya lagi, kak Brian bisa menjelaskan setiap tokohnya tanpa membuat kita kebingungan ini siapa dan bagaimana masalahnya.
Seperti layaknya sebuah kampung, setiap rumah punya cerita. Cerita di sini cukup beragam, karena tokohnya juga beragam umurnya. Dari yang masih bayi sampe udah gede bangkotan pun ada. Masalah yang dihadapi juga cukup beragam, tapi tetap berawal dari uang. Bagaimana setiap tokohnya berjuang untuk mencari uang, mulai dari pekerjaan yang halal sampai haram. Perjuangan setiap tokohnya juga nggak gampang.
Setiap tokoh di sini porsinya juga pas. Nggak ada yang terlalu banyak, atau terlalu sedikit. Semuanya dikupas dengan perlahan sampai kita tau apa yang membuat mereka sampai di posisi yang sekarang ini.
Sisi Tergelap Surga bener-bener membuka mataku lebih lebar lagi. Aku tau, kalau cerita Rini, Juleha, Gofar, dan tokoh lainnya di dunia nyata banyak sekali, tapi ini bener-bener berasa deket banget sama kita. Konflik yang dihadapi juga nggak cuma batin, tapi juga dilema moral. Di satu sisi harus tetap berbuat baik, tapi di sisi lain, harus mencari uang dengan cepat.
Nggak hanya membahas tentang perjuangan setiap tokohnya, tapi aku juga banyak sekali belajar kalau setiap mereka yang sedang berjuang itu juga kebingungan. Kadang, apa yang kita nilai negatif atau bertolakbelakang dengan nilai moral masyarakat, mereka juga paham kok. Mereka sebenernya juga nggak mau melakukan hal itu, tapi gimana lagi? Berbagai cara sudah ditempuh, hasilnya nggak sesuai dengan yang diharapkan.
Baca novel ini nggak bisa berhenti! Setiap halamannya nagih. Bikin pengen nyelesaiin, tapi juga ada beberapa hal yang bikin aku mual pas baca. Jadi saranku, nggak cocok untuk dibaca pas lagi makan. Untuk anak under 18 tahun, harus jauh-jauh dari novel ini, soalnya bahasa yang dipakai di sini kasar, dan nggak banget untuk anak under 18 tahun. Meskipun kita semua tau ya, kalo anak jaman sekarang sudah dewasa pada waktunya.
From the book...
"Tetap jadi lonte saja, Rin. Hidup ini cuma mampir doang terus modar dimakan cacing. Toh nikah atau nggak nikah nggak bakal beda jauh buat lo. Itu cuma soal memilih, mau menghabiskan seumur hidup badan lo dipakai satu orang, atau dipakai banyak orang. Tapi kalau lo milih hidup dengan satu cecunguk, paling nggak cari cecunguk yang bisa cari duit, bukan yang bisanya cuma morotin.""Kunci supaya biasa saja menghadapi semua hal aneh di kota ini ya dengan membiasakan diri dengan hal-hal yang nggak biasa. Jadi, jangan hakimi cara bertahan hidup orang-orang ya, Tom.""Kalau dengan beragama lantas bikin kamu merasa lebih suci dan lebih tinggi derajatnya dari orang lain, sosok siapa yang kamu teladani selama ini? Siapa yang kamu sembah selama ini? Egomu?""Hidup tak seindah itu. Sesudah badai tak selalu ada pelangi. Terkadang yang kauterima justru lebih parah. Jalanan becek yang membuat langkahmu terasa berat, atau bahkan pohon tumbang yang menghalangi jalanmu.""Semua orang bisa dengan bebas menghakimi, bebas menghina, bebas memandang sebelah mata. Namun, tidak semua orang mampu menyadari bahwa terkadang, cara terbaik untuk tetap melaju adalah dengan merangkak, tak peduli jika kepala lebih rendah dan lebih sering menghirup aroma kotoran dari kaki orang lain. Tak apa, yang penting, tetap berjalan.""Hidup memang suka bercanda. Terkadang, yang terlihat buruk di matamu justru tak lebih buruk daripada kebusukan diri sendiri yang berusaha kausembunyikan rapat-rapat.""Ya tetap hidup. Bertahan hidup. Yey pikir semua yang dilakukan orang-orang berdosa kayak kami di luar sini buat senang-senang doang? Nggak. Ini semua buat bertahan hidup.""Kalau yey memang harus menilai seseorang, nilailah dia dari caranya menilai orang lain. Bukan dari bagaimana nilai yang selama ini yeys terapkan dalam hidup yey sendiri. Sebab, benar atau salah itu relatif, tergantung dari sepatu siapa yey berdiri.""Hidup tuh dijalanin aja. Tapi kalau ai boleh kasih saran, yey jangan pernah bugil di depan kamera ya. Jangan sampai divideoin. Manusia itu biadab. Sesayang-sayangnya yey sama laki, jangan pernah izinin dia buat videoin yey pas lagi ngewong.""Ah itu sih biasa aja. Udah biasa ai dihina orang. Yey tahu apa enaknya hidup dalam kehinaan? Orang-orang udah nggak bisa menghinamu lagi. Wong emang kamu udah hina kok.""Hidup adalah pertarungan. meski selama ini oranng-orang di kampung terlihat diam, saling sapa, saling bersikap baik, tapi sebenarnya mereka sedang saling mengamati. Menanti kejatuhan orang lain. Menanti keburukan orang lain terbongkar. Untuk kemudian menginjak-injaknya dengan ganas selayaknya derajat mereka lebih suci daripada yang lain.""Betul kata orang-orang, beberapa anak memang terlahir beruntung di tengah keluarga yang berkecukupan materi. Sisanya lebih beruntung karena diberi hati dan tulang yang kuat untuk berusaha sendiri.""Kita harus ngerasain hidup semenderita-menderitanya dulu biar nanti orang-orang bisa belajar dari kita cara bertahan hidup.""Bagi beberapa orang, bahagia itu tidak sulit untuk dicari. Kebahagiaan bisa lahir dari hal-hal kecil, seperti dengkur kucing liar yang kekenyangan selepas makan, bayi-bayi kucing yang berebut puting susu ibunya, atau wanita tua yang duduk di makam suaminya. Kebahagiaan selalu dekat dengan hati yang bersyukur."
No comments:
Post a Comment