Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagas Media
Tebal : 320 Halaman
"Bukan melupakan, An. Menerima. Berusahalah memaafkan dirimu."
"Bukan melupakan, An. Menerima. Berusahalah memaafkan dirimu."
B L U R B
Masa lalu akan tetap ada.
Kau tak perlu terlalu lama terjebak di dalamnya.
Pada kisah ini, kau akan bertemu An.
Perempuan dengan tawa renyah itu sudah lama tak bisa keluar dari masa lalu. Ia menyimpan rindu, yang membuatnya semakin kehilangan tawa setiap waktu.
Membuatnya menyalahkan doa-doa yang terbang ke langit.
Doa-doa yang lupa kembali kepadanya.
An tahu, seharusnya ia tinggalkan kisah sedih itu sejak berhari-hari lalu. Namun, ia masih saja di tempat yang sama. Bersama impian yang ternyata tak mampu ia jalani sendiri, tetapi tak bisa pula ia lepaskan.
Pernahkah kau merasa seperti itu?
Tak bisa menyalahkan siapa-siapa, kecuali hatimu yang tak lagi bahagia.
Pernahkah kau merasa seperti itu?
Saat cinta menyapa, kau memilih berpaling karena takut bertemu luka?
Mungkin, kisah An seperti kisahmu.
Diam-diam, doa yang sama masih kau tunggu.
- - - - - - - - - -
Anise, atau yang biasa dipanggil An, hobinya membuat pasta. Cita-citanya memiliki trattoria sendiri bersama dengan saudara kembarnya, Arlett. Mereka berdua menyukai hal yang berbeda. An menyukai masakan, dan Arlett menyukai kue. Tapi kemana pun An pergi, Arlett akan dengan senang hati mengikutinya. Bahkan mereka berdua sudah mulai bekerja untuk mewujudkan keinginan An memiliki trattoria. Ya, Arlett mendukung hal itu seratus persen.
"Siapa bilang kau tidak butuh asisten? Bisnis kita semakin besar, Julian. Aku tahu beberapa bulan terakhir ini kau kewalahan." P. 13
Mendadak, An bekerja di Afternoon Tea, sebuah toko kue milik sepupunya. Dia bekerja untuk menebus rasa bersalahnya. Tapi bagaimana caranya dia bisa melakukan itu kalau basicnya aja bukan pastry atau kue? Belum lagi Julian, salah satu koki di sana, membuat An tidak nyaman karena sikapnya yang cukup individual dan perfeksionis. Apalagi pas ngelihat An yang nol besar masalah beginian. Apa bisa An bertahan di sana? Memang rasa bersalah apa yang membuatnya banting setir ke kue?
R E V I E W
Membaca cerita An awalnya membuatku bingung, karena tiba-tiba menceritakan bagaimana An dan Arlett dulunya, bingung juga dengan rasa bersalah An, dan mana Arlett?! Selalu diceritakan Arlett, tapi dia nggak pernah muncul. Akhirnya pertanyaan ini terjawab juga di bagian mendekati akhir.
Sesuai dengan tagline di cover novel, "Kau tak perlu melupakan masa lalu. Kau hanya perlu menerimanya." Seringkali, kita tuh berusaha untuk melupakan sesuatu, atau kesalahan kita, atau bisa juga kejadian di masa lalu yang nggak mengenakkan. Hal ini kemudian yang bakalan bikin kita jadi punya permisalan. Misalnya dulu aku nggak begini, misalnya dulu aku lebih mendengarkan ini. Akan selalu banyak kalau, misalnya, dan perandaian lainnya, yang kemudian mikir bahwa kita ini selalu salah ngambil keputusan. Padahal, ada cara lain selain denial kayak gitu, yaitu menerimanya. Susah, tapi bikin kita lega.
Entah kenapa, tulisan kak Windry ini selalu bisa ya buat aku seolah-olah aku nemenin An, mengikuti sikapnya yang menyenangkan, apalagi kesotoyannya dia ini bener-bener ya. Mana dia nggak punya rasa takut sama Julian kayaknya. Mau dijutekin Julian, disuruh pergi dari dapurnya, bahkan sampai makan kue buatan Julian padahal dilarang, dia juga nggak ada takut-takutnya. Di sini kita juga bertemu dengan Ayu dari London dan Angel in The Rain lho! Hihi.. Ini suprise banget sih buatku.
Untuk alurnya sendiri maju mundur, menceritakan bagaimana An dan Arlett dulu, bagaimana hubungan mereka berdua, hingga alasan kenapa Arlett tidak muncul selama ini. Aku suka, cerita ini ditutup dengan manis. Suka gimana An berusaha kuat untuk menerima semuanya, dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. Ya, meskipun harus dipancing dengan sedikit kekacauan. Tapi aku puas sekali. Jadi kangen baca tulisan kak Windry yang lain. Hihi..
Quotable:
"Kata Arlett, pelangi adalah janji alam bahwa masa buruk telah berlalu dan masa depan akan baik-baik saja." P. 274"Untuk melepaskan masa lalu, yang harus kulakukan bukan melupakannya, melainkan menerimanya. Dengen menerima, aku punya kesempatan untuk belajar memaafkan diri sendiri. Aku tidak berkata ini mudah. Dan, ini akan butuh waktu. Tetapi, pada saatnya nanti, aku akan terbebas dari semua beban yang menekanku selama ini." P. 293
No comments:
Post a Comment