Sunday, August 25, 2024

[REVIEW] Second Hope

Second Hope
Flara Deviana
Gramedia Pustaka Utama
368 Halaman

 Lo itu anak baik. Lo galak, tapi buat kebaikan banyak orang. Mulut lo nyebelin, tapi kelakuan lo hangat.”


B L U R B

Nora Alexander memiliki segalanya. Keluarga berkecukupan, karier gemilang, sahabat-sahabat yang selalu ada. Namun, hidup bagi Nora adalah neraka. Malam-malamnya dipenuhi mimpi buruk, kepalanya selalu bising. Dia ketergantungan alkohol, membenci seisi rumahnya, dan juga menjalani hubungan tak sehat dengan Sebastian Prasetya. Nora tidak mengerti arti dicintai, apalagi mencintai.

Kemudian, Nora bertemu dengan Adnan Bratajaya, di tempat yang salah dan di waktu yang tak tepat. Dan entah bagaimana, takdir membawa cowok itu bekerja di kantor Nora. Adnan mulai mengisi hari-hari Nora. Tak peduli sekeras apa pun Nora berusaha menjauhi cowok itu, Adnan akan dengan sabar menghadapinya dengan pengertian, kesabaran, dan cinta.

Di tengah rasa trauma yang belum selesai, sesi-sesi terapi yang berat, dan rasa benci yang siap meledak kapan saja, Adnan menemani Nora untuk belajar memaafkan, menerima juga memeluk harapan. Tapi apakah semua itu cukup untuk keduanya, atau ada bahaya yang diam-diam mengintai untuk menghancurkan mereka?

- - - - - - - - -

Nora Alexandra bekerja sebagai seorang desainer interior dengan selera yang sangat bagus. Walaupun dibalik semua itu, kata galak, tidak berperasaan, dan penyihir, sudah melekat jadi nama lengkapnya di kantor. Nora tidak peduli dengan sebutan negatif yang melekat, toh selama ini track record pekerjaannya baik-baik saja. Jadi apa yang menyulitkannya?
“Orang-orang bilang alkohol bisa bikin kita lebih jujur, dan semalam lo memang jadi bisa jujur sama perasaan sendiri. Mungkin karena itu lo merasa entengan.” — P. 162
Kehidupan Nora berantakan, tidak ada yang sesuai keinginannya. Satu-satunya yang sesuai dengan keinginannya adalah pekerjaannya sebagai desainer. Tidak dengan Bastian, cowok yang bisa membuatnya tenang, tidak juga dengan keluarganya yang terlalu banyak memiliki topeng.

Sahabat-sahabat Nora juga memilih tidak terlalu banyak ikut campur, kecuali Dela. Mungkin begitulah cara Dela menyayangi Nora. Adnan adalah laki-laki yang entah mengapa bisa terus mengganggu kehidupan Nora, meskipun Nora berulang kali bersikap ketus dan jutek. Entah kenapa, auranya Adnan tuh beda banget.

Berawal dari Nora yang membutuhkan tempat tinggal, dan Adnan yang memiliki tempat tinggal berlebih, keduanya mulai dekat dan perlahan Nora mulai sedikit terbuka, tapi apakah sikapnya ini akan bersifat sementara?


Banyak yang bilang, kalau baca Second Hope bakalan ngerasa desperate banget. Nggak tau kenapa, aku malah baik-baik aja. Nggak merasa Nora aneh. Malah menurutku, Nora ini manusiawi sekali. Punya kehidupan yang kacau, nggak tau harus gimana, masih hebat Nora hidup sampai sekarang. Kukira, Nora ini rebel karena emang dia egois, tapi ternyata karena dia kesepian dan nggak tau harus ke mana. Punya sahabat belum tentu jadi jaminan dan semua hal bisa diceritakan, kan?

Novel ini dibawakan dengan alur yang maju mundur, tentu aja supaya kita tau gimana kisah mereka di masa lalu, apa yang membentuk mereka jadi saat ini, apa yang menyebabkan mereka jadi seperti ini. Di bagian awal novel, kita akan diberikan kepingan-kepingan clue tentang mereka. Cukup menarik, karena di sini aku sempat mengira kalau Nora emang beneran ‘rusak’. Padahal dia cuma perlu didengarkan aja.

Karakter di sini menurutku kuat semua. Mulai dari Nora yang ternyata punya masa lalu yang cukup rumit, masalah keluarga yang nggak selesa-selesai, sementara Bastian—‘persinggahan’ Nora yang mau menerima Nora tanpa banyak bertanya, tanpa perlu tau masalah yang dihadapi Nora saat ini. Ah, awalnya aku juga mengira Bastian ini jerk yang sama-sama mau aja sama Nora, ternyata enggak, dia laki-laki yang menunggu Nora kapan pun Nora siap bercerita, dia selalu ada. Bahkan dia selalu ada di tempat yang sama menunggu Nora.

Persahabatan yang dimiliki Nora ini mungkin cukup membuatku iri, bagaimana Via punya telinga yang lebar, nggak banyak menasehati dan menggurui. Bagaimana Rissa yang juga selalu bisa meluangkan waktu untuk Nora, walau dia sendiri sebenernya juga perlu ditolong. Kalau Dela sih tipe temen cablak yang pokoknya ngomong dulu, dia pasti bener, dan nggak peduli kalau orang lain sakit hati sama omongan dia.

Ketika akhirnya bertemu dengan Adnan, aku rasanya ikutan lega lho. Hebat banget emang ce Flara menuliskan cerita Nora ini. Adnan ini kunobatkan sebagai cowok green flag yang cukup ijo royo-royo. Soalnya pas awal, cara dia agak maksa ya, biar masuk ke kehidupan Nora. Ketika Adnan mengalami ‘kejadian’ itu, jujur aku juga langsung nyesek sih.

Mungkin untuk sebagian orang, novel ini cukup bikin desperate, tapi buatku malah enggak. Hehe.. Mungkin karna pas baca, akunya lagi sambil menyusui, jadi agak nggak relate. But this novel is very good! Mari belajar mengikhlaskan dan berdamai lewat novel ini.


From the book…
“Setahun gue nungguin lo bukan mau minta ganti rugi atau apa. Gue cuma mau kenalan sama Nora Alexander dalam keadaan sadar.” — P. 77

“Lo tahu dari awal gue nggak pernah anggap lo cuma teman tidur. Dari SMA intensi gue ke lo udah jelas. Kalau selama ini gue biarin lo ngumpet di tempat gelap di kepala lo, sekarang nggak lagi. Gue mau lo keluar dari sana, secepatnya. Gue tungguin.” — P. 95

“Kita udah melalui banyak hal selama bertahun-tahun, apa enggak ada satu pun yang bisa lo jadiin alasan supaya gue bisa sama-sama lo?” — P. 126

“Nggak bisa diperbaiki. gue tahu gimana rasanya mengharakan perhatian dari orang yang nggak mikirin lo sama sekali. Gue ngerti skitnya berjuang menjadi yang terbaik buat orang yang selalu merasa lo kurang. Gue tahu gimana nggak enaknya dicariin cuma buat seks, dan gimana tersiksanya menyayangi orang yang cuma memperalat lo.” — P. 148

“Orang-orang bilang alkohol bisa bikin kita lebih jujur, dan semalam lo memang ajdi bisa jujur sama perasaan sendiri. Mungkin karena itu lo merasa entengan.” — P. 162

“Mereka sebal waktu lo marah, tapi mereka juga kagum sama etos kerja dan hasil-hasil desain lo. Banyak dari mereka berterima kasih sama sifat lo yang suka perhatian dan suka nolong” — P. 171

“Nggak ada yang mau jadi nomor dua, Bas. Apalagi sama orang yang posisinya nggak jelas di hidup lo. Dibilang sahabat, tapi kelihatan kayak orang asing. Disebut pacar, tapi kalian selalu punya gandengan masing-maisng. Kalian cuma teman masa kecil. Apa harus berlebihan begini?” — P. 187

“Ini yang paling penting. Gue mencintai lo. Emang cinta gue nggak sempurna, tapi at least cinta gue ke lo nyata.” — P. 201

“Coba aja dulu jelasin, Ra. Gue bakal dengerin kok. Gue bakal coba buat memahami lo, jadi gue bisa antisipasi hal-hal yang perlu diantisipasi. Dari situ gue bisa mulai cari solui. Siapa tau solusi paling baiknya bukan gue harus berhenti suka sama lo.” — P. 230

“Namanya hubungan, perlu trial and error. Hubungan baik-baik sekali pun, pasti ada satu-dua luka di sana. Luka, sedih, kecewa, marah, itu bumbu dalam hubungan. sama kayak perasaan senang dan berbunga-bunga. Yang jadi pertimbangan adalah porsinya. Nggak boleh senang berlebih, pu sedih berlebih. Dua rasa itu harus berdampingan dan bersinergi. Yang jelas, keadaan yang terlalu nyaman juga nggak bikin suatu hubungan bertumbuh.” — P. 231

“Lo itu anak baik. Lo galak, tapi buat kebaikan banyak orang. Mulut lo nyebelin, tapi kelakuan lo hangat.” — P. 232

“Cobalah mencintai orang lin. Orang yang bisa mencinta lo dengan benar, Bas. Orang yang bisa memperlakukan lo jauh lebih baik daripada gue, karena lo pantas mendapatkannya.” — P. 239

“Nggak peduli seberapa kaya cowok itu, sebanyak apa pun warisan yang ditinggalin keluarganya, kalau nggak bisa mengelola dengan baik, ya, habis-habis juga.” — P. 294

“Kami nggak pernah mengobrol hal lain selain uang. Sedari saya kecil sampai menjelang kepergiannya, Opa kamu hanya menekankan satu hal, bahwa laki-laki harus bisa memberi kehidupan yang layak buat anak-istri. Apa pun yang terjadi jangan kasih mereka susah.” — P. 349

“Saya terlambat menyelamatkan mamamu. Kali ini saya nggak mau terlambat lagi. Jadi, tolong, kamu juga jangan menyerah.” — P. 350

“Tolong bertahan hidup buat hal sekecil apa pun itu. Buat gambar-gambar lo, atau masakan Bunda yang lo suka banget.” — P. 359

“Masih banyak pertanyaan yang belum saya jawab, makanya kamu nggak boleh ke mana-mana dulu. Ayo kita selesaikan semuanya, sembuh bersama-sama.” — P. 363

Thursday, August 8, 2024

[REVIEW] Saat-Saat Jauh

 

Saat-Saat Jauh
Lia Seplia
Gramedia Pustaka Utama
280 Halaman

“Setiap orang bertahan dengan pilihan masing-masing. Setiap jalan yang dipilih pasti ada salah dan benarnya. Jika berani memilih, berani juga menerima apa pun konsekuensinya.”


B L U R B

Aline dan Alex saling percaya bahwa mereka akan selalu bersama. Namun, keyakinan itu memudar seiring lebarnya jarak yang memisahkan mereka. Alex pergi ke Kota Terik demi mengejar kesempatan sebagai dokter yang sesuai standar keluarga besarnya. Aline mempertahankan ambisi untuk mengurus Panti Jompo J&J di Kota Teduh.

Saat mendapatkan promosi, Alex mengajak Aline untuk menikah dan pindah ke Kota Terik. Aline menolak. Sejak awal, gadis itu sudah menegaskan tak akan meninggalkan panti. Mimpi-mimpi mereka tidak lagi bertemu di satu tujuan. Setelah empat tahun menjalani hubungan jarak jauh, mereka berpisah.

Mereka pun berusaha menjalin kehidupan baru bersama orang lain. Alex merasa Vanesa jawaban dari kemapanan yang ia perjuangkan. Sementara Aline merasa Rama akan mengerti keterikatan batinnya dengan panti.

Tiba-tiba Aline dan Alex harus bertemu kembali. Meski berhadap-hadapan, jarak antara mereka terasa tak kunjung menyempit.

- - - - - - - - -

Menikah dan pindah ke kota Terik memang bukan tujuan Aline. Dia nyaman di kota Teduh, mengabdikan dirinya untuk panti werda. Baginya ini lebih dari apapun. Masalahnya, Alex harus pindah ke kota Terik, melanjutkan pekerjaannya di sana, meneruskan mimpi yang orangtuanya titipkan.
“Karena dia merasa cukup dengan hidupnya yang sekarang. Dan lo nggak gitu, Lex. Lo masih kejar pamor agar diakui dan dipuji keluarga. Dia bisa memilih hidupnya sendiri. Lo nggak bisa. Mungkin itu masalahnya.”
Kepindahan Alex ke kota Terik membuat hubungannya dengan Aline putus. Ini tentu bukan hanya masalah jarak, tapi kesulitan komunikasi juga. Putusnya hubungan mereka ini, sedikit banyak membuat Alex sedikit menyesal. Terlalu banyak 'mungkin' yang dia pikirkan, sampai akhirnya dia bertemu dengan Vanesa, salah satu dokter baru yang ada di rumah sakit tempatnya bekerja.

Sementara Aline di kota Teduh, dia bertemu dengan Rama, salah seorang yang pernah datang ke panti J&J dan kemudian menjadi dekat dengan Aline. Meskipun begitu, Aline tidak langsung membuka diri. Baginya, berteman dulu dan dijalani saja secara perlahan-lahan.

Tapi bagaimana kalau Aline dan Alex harus bertemu lagi dalam satu acara yang mengharuskan mereka berdua berdekatan terus menerus? Belum lagi, yang orang tahu, keduanya masih menjalin hubungan.


Kembali membaca karya kak Seplia lagi. Saat-Saat Jauh ini sudah jadi inceran bacaku sejak setelah terbit. Tapi kok kayaknya sendu banget gitu ya. Padahal ya enggak juga sih.

Kali ini membahas panti jompo. Kurasa, panti jompo kalau di Indonesia ini sudah dapet cap yang jelek sekali. Seperti tempat pembuangan orang tua, padahal ya enggak juga. Justru mereka di sana jadi punya kegiatan.

Aku pernah menitipkan salah satu anggota keluargaku di panti jompo itu. Nyatanya, mereka lebih terawat, punya jadwal yang pasti, punya kegiatan, dan nggak kesepian. Karena kebanyakan orang tua apalagi yang sudah tidak bekerja, tidak punya teman dan pekerjaan malah jadi kayak linglung gitu.

Hubungan Aline dan Alex ini mengingatkanku ke masa-masa sebelum nikah sama suami. Hubungan LDR. Jujur, LDR itu bukan hal gampang. Komunikasi kudu lancar, cuma itu kunci LDR, kalo enggak pasti buyar. Selain itu, hal yang menakutkan dari LDR adalah.. putus hubungan. Meskipun itu semua balik lagi ke pasangan masing-masing sih.

Menurutku, hubungan mereka berdua ini sebenernya cukup rumit, apalagi dari pihak Alex. Mereka juga nggak terlalu setuju dengan Aline. Belum lagi, Alex sendiri juga lebih memilih keputusan keluarganya diatas hubungannya dengan Aline. 

Alex ini tipe cowok yang aku hindari banget kalau mau mencari pasangan. Mungkin dia memang berasal dari keluarga yang cukup berada, tapi dia nggak bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Nggak cuma hubungannya dengan Aline aja, ketika dia membuka diri ke hubungan yang baru, dia juga keliatan banget bimbangnya, udah bimbang, dia juga kayak ‘disetir’ sama pasangannya. Kesel banget deh.

Dalam novel ini, dibagi menjadi 4 bagian: Summer, Autumn, Winter, Spring. Kurasa bagian-bagian ini seperti siklus kehidupan tokohnya. Alur yang dipakai juga maju-mundur.

Secara keseluruhan, novel ini bener-bener slow paced dan banyak mengajarkan tentang kehidupan dan pengambilan keputusan. Pembawaan Aline yang tenang, cara kak Seplia menulis kisah Aline dan Alex, bener-bener mengalir.


From the book...
“Bukannya mau sok menggurui, tapi bagaimana jika masing-masing kalian mengejar impian atau cita-cita dulu? Nggak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan. Cinta nggak selalu bisa menyelamatkan impian. Tapi sebaliknya, impian bisa membuat jalan untuk cinta itu sendiri.”

“Rumah dengan nomor nol adalah rumah orangtua. Soalnya itu tempat kembali kalau-kalau rumah-rumah lain nggak mau nerima aku lagi. Posisinya nol karena rumah itu adalah awal dari semuanya—baik atau buruk.”

“Satu-satunya yang konsisten adalah perubahan. Hari ini kamu bisa saja bilang A, tapi belum tahu esok hari masih sama. Bisa jadi kamu malah bilang D. Jadi, jika suatu hari nanti kamu berubah pikiran bukan berarti kamu ‘menjilat ludah sendiri’ atau nggak konsisten. Seperti itulah pikiran manusia. Nggak ada yang tetap, berubah-ubah sesuai situasi, atau kondisi, dan pengetahuannya.”

“Kamu tidak ingin mengecewakan orang lain, tapi malah mengecewakan diri sendiri. Kamu ingin membahagiakan orang lain, tapi diri sendiri tidak bahagia. Itulah orang paling malah di dunia.”

“Kenapa kamu mengorbankan kebahagiaan dan keinginan diri sendiri demi mematuhi semua aturan itu? Padahal kamu bisa pulang dengan tangan kosong atau kembali ke tempat bunga yang sempat kamu pilih di awal tadi. Jangan mati demi mematuhi aturan yang kata dunia harus kamu turuti.”

“Menitipkan atau nggak menitipkan orangtua di panti jompo, pasti ada alasannya. Itulah yang patut didengar. Jika itu untuk kebaikan keduanya, baguslah. Lagian, nggak ada anak yang harus balas jasa ke orangtua. Orangtua juga nggak bisa semena-mena minta balasan kasih sayang pada anak. Itu juga berlaku untukmu, Ayah, atau Ibu. Jangan jadikan beban ya.”

“Mau pergi sejauh mana pun… pergilah. Bahkan jika harus mengelilingi seluruh alam semesta ini, pergilah. Tapi jangan lupa pulang.”

“Jangan didayung sampanmu ke laut lepas saat kamu masih ragu. Jangan berlayar tanpa perencaan dan pertimbangan. Sabar. Tunggu. Tenang.”

“Karena dia merasa cukup dengan hidupnya yang sekarang. Dan lo nggak gitu, Lex. Lo masih kejar pamor agar diakui dan dipuji keluarga. Dia bisa memilih hidupnya sendiri. Lo nggak bisa. Mungkin itu masalahnya.”

“Pernikahan nggak seharusnya membunuh impian. Itu yang kupercayai.”

“Sekarang kamu menjadi insecure dibandingkan sama dia? Maka selamanya kamu akan dikejar oleh ketakutan yang sama. Kamu nggak akan pernah selesai dengan masalah ini. Inhat, Vanesa… kamu akan selalu dibanding-bandingkan dengan siapa pun itu oleh orang lain, pun orang terdekatmu. Nggak akan pernah berhenti sampai kamu mati.”

“Dirimu itu masalahnya. Kamu penentunya. Saat dilempari api oleh orang, kamu malah membiarkan api itu membakarmu. Ya, orang ketawa dong. Tangkis! Jangan sampai api itu melukaimu. Apa yang kita terima, jika itu baik jangan sampai membuat kita terlena. Kalau yang kita terima buruk, jangan biarkan itu membunuh kita.”

“Setiap orang bertahan dengan pilihan masing-masing. Setiap jalan yang dipilih pasti ada salah dan benarnya. Jika berani memilih, berani juga menerima apa pun konsekuensinya.”

“Itu keputusanmu. Berubahlah karena kamu ingin, bukan terpaksa. Berubahlah untuk kebaikanmu sendiri, bukan untuk mendapatkan pengakuan orang lain.”

“Jika seseorang pamit karena sebuah alasan, suatu hari nanti pasti akan pulang dengan alasan yang sama.”