Thursday, August 8, 2024

[REVIEW] Saat-Saat Jauh

 

Saat-Saat Jauh
Lia Seplia
Gramedia Pustaka Utama
280 Halaman

“Setiap orang bertahan dengan pilihan masing-masing. Setiap jalan yang dipilih pasti ada salah dan benarnya. Jika berani memilih, berani juga menerima apa pun konsekuensinya.”


B L U R B

Aline dan Alex saling percaya bahwa mereka akan selalu bersama. Namun, keyakinan itu memudar seiring lebarnya jarak yang memisahkan mereka. Alex pergi ke Kota Terik demi mengejar kesempatan sebagai dokter yang sesuai standar keluarga besarnya. Aline mempertahankan ambisi untuk mengurus Panti Jompo J&J di Kota Teduh.

Saat mendapatkan promosi, Alex mengajak Aline untuk menikah dan pindah ke Kota Terik. Aline menolak. Sejak awal, gadis itu sudah menegaskan tak akan meninggalkan panti. Mimpi-mimpi mereka tidak lagi bertemu di satu tujuan. Setelah empat tahun menjalani hubungan jarak jauh, mereka berpisah.

Mereka pun berusaha menjalin kehidupan baru bersama orang lain. Alex merasa Vanesa jawaban dari kemapanan yang ia perjuangkan. Sementara Aline merasa Rama akan mengerti keterikatan batinnya dengan panti.

Tiba-tiba Aline dan Alex harus bertemu kembali. Meski berhadap-hadapan, jarak antara mereka terasa tak kunjung menyempit.

- - - - - - - - -

Menikah dan pindah ke kota Terik memang bukan tujuan Aline. Dia nyaman di kota Teduh, mengabdikan dirinya untuk panti werda. Baginya ini lebih dari apapun. Masalahnya, Alex harus pindah ke kota Terik, melanjutkan pekerjaannya di sana, meneruskan mimpi yang orangtuanya titipkan.
“Karena dia merasa cukup dengan hidupnya yang sekarang. Dan lo nggak gitu, Lex. Lo masih kejar pamor agar diakui dan dipuji keluarga. Dia bisa memilih hidupnya sendiri. Lo nggak bisa. Mungkin itu masalahnya.”
Kepindahan Alex ke kota Terik membuat hubungannya dengan Aline putus. Ini tentu bukan hanya masalah jarak, tapi kesulitan komunikasi juga. Putusnya hubungan mereka ini, sedikit banyak membuat Alex sedikit menyesal. Terlalu banyak 'mungkin' yang dia pikirkan, sampai akhirnya dia bertemu dengan Vanesa, salah satu dokter baru yang ada di rumah sakit tempatnya bekerja.

Sementara Aline di kota Teduh, dia bertemu dengan Rama, salah seorang yang pernah datang ke panti J&J dan kemudian menjadi dekat dengan Aline. Meskipun begitu, Aline tidak langsung membuka diri. Baginya, berteman dulu dan dijalani saja secara perlahan-lahan.

Tapi bagaimana kalau Aline dan Alex harus bertemu lagi dalam satu acara yang mengharuskan mereka berdua berdekatan terus menerus? Belum lagi, yang orang tahu, keduanya masih menjalin hubungan.


Kembali membaca karya kak Seplia lagi. Saat-Saat Jauh ini sudah jadi inceran bacaku sejak setelah terbit. Tapi kok kayaknya sendu banget gitu ya. Padahal ya enggak juga sih.

Kali ini membahas panti jompo. Kurasa, panti jompo kalau di Indonesia ini sudah dapet cap yang jelek sekali. Seperti tempat pembuangan orang tua, padahal ya enggak juga. Justru mereka di sana jadi punya kegiatan.

Aku pernah menitipkan salah satu anggota keluargaku di panti jompo itu. Nyatanya, mereka lebih terawat, punya jadwal yang pasti, punya kegiatan, dan nggak kesepian. Karena kebanyakan orang tua apalagi yang sudah tidak bekerja, tidak punya teman dan pekerjaan malah jadi kayak linglung gitu.

Hubungan Aline dan Alex ini mengingatkanku ke masa-masa sebelum nikah sama suami. Hubungan LDR. Jujur, LDR itu bukan hal gampang. Komunikasi kudu lancar, cuma itu kunci LDR, kalo enggak pasti buyar. Selain itu, hal yang menakutkan dari LDR adalah.. putus hubungan. Meskipun itu semua balik lagi ke pasangan masing-masing sih.

Menurutku, hubungan mereka berdua ini sebenernya cukup rumit, apalagi dari pihak Alex. Mereka juga nggak terlalu setuju dengan Aline. Belum lagi, Alex sendiri juga lebih memilih keputusan keluarganya diatas hubungannya dengan Aline. 

Alex ini tipe cowok yang aku hindari banget kalau mau mencari pasangan. Mungkin dia memang berasal dari keluarga yang cukup berada, tapi dia nggak bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Nggak cuma hubungannya dengan Aline aja, ketika dia membuka diri ke hubungan yang baru, dia juga keliatan banget bimbangnya, udah bimbang, dia juga kayak ‘disetir’ sama pasangannya. Kesel banget deh.

Dalam novel ini, dibagi menjadi 4 bagian: Summer, Autumn, Winter, Spring. Kurasa bagian-bagian ini seperti siklus kehidupan tokohnya. Alur yang dipakai juga maju-mundur.

Secara keseluruhan, novel ini bener-bener slow paced dan banyak mengajarkan tentang kehidupan dan pengambilan keputusan. Pembawaan Aline yang tenang, cara kak Seplia menulis kisah Aline dan Alex, bener-bener mengalir.


From the book...
“Bukannya mau sok menggurui, tapi bagaimana jika masing-masing kalian mengejar impian atau cita-cita dulu? Nggak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan. Cinta nggak selalu bisa menyelamatkan impian. Tapi sebaliknya, impian bisa membuat jalan untuk cinta itu sendiri.”

“Rumah dengan nomor nol adalah rumah orangtua. Soalnya itu tempat kembali kalau-kalau rumah-rumah lain nggak mau nerima aku lagi. Posisinya nol karena rumah itu adalah awal dari semuanya—baik atau buruk.”

“Satu-satunya yang konsisten adalah perubahan. Hari ini kamu bisa saja bilang A, tapi belum tahu esok hari masih sama. Bisa jadi kamu malah bilang D. Jadi, jika suatu hari nanti kamu berubah pikiran bukan berarti kamu ‘menjilat ludah sendiri’ atau nggak konsisten. Seperti itulah pikiran manusia. Nggak ada yang tetap, berubah-ubah sesuai situasi, atau kondisi, dan pengetahuannya.”

“Kamu tidak ingin mengecewakan orang lain, tapi malah mengecewakan diri sendiri. Kamu ingin membahagiakan orang lain, tapi diri sendiri tidak bahagia. Itulah orang paling malah di dunia.”

“Kenapa kamu mengorbankan kebahagiaan dan keinginan diri sendiri demi mematuhi semua aturan itu? Padahal kamu bisa pulang dengan tangan kosong atau kembali ke tempat bunga yang sempat kamu pilih di awal tadi. Jangan mati demi mematuhi aturan yang kata dunia harus kamu turuti.”

“Menitipkan atau nggak menitipkan orangtua di panti jompo, pasti ada alasannya. Itulah yang patut didengar. Jika itu untuk kebaikan keduanya, baguslah. Lagian, nggak ada anak yang harus balas jasa ke orangtua. Orangtua juga nggak bisa semena-mena minta balasan kasih sayang pada anak. Itu juga berlaku untukmu, Ayah, atau Ibu. Jangan jadikan beban ya.”

“Mau pergi sejauh mana pun… pergilah. Bahkan jika harus mengelilingi seluruh alam semesta ini, pergilah. Tapi jangan lupa pulang.”

“Jangan didayung sampanmu ke laut lepas saat kamu masih ragu. Jangan berlayar tanpa perencaan dan pertimbangan. Sabar. Tunggu. Tenang.”

“Karena dia merasa cukup dengan hidupnya yang sekarang. Dan lo nggak gitu, Lex. Lo masih kejar pamor agar diakui dan dipuji keluarga. Dia bisa memilih hidupnya sendiri. Lo nggak bisa. Mungkin itu masalahnya.”

“Pernikahan nggak seharusnya membunuh impian. Itu yang kupercayai.”

“Sekarang kamu menjadi insecure dibandingkan sama dia? Maka selamanya kamu akan dikejar oleh ketakutan yang sama. Kamu nggak akan pernah selesai dengan masalah ini. Inhat, Vanesa… kamu akan selalu dibanding-bandingkan dengan siapa pun itu oleh orang lain, pun orang terdekatmu. Nggak akan pernah berhenti sampai kamu mati.”

“Dirimu itu masalahnya. Kamu penentunya. Saat dilempari api oleh orang, kamu malah membiarkan api itu membakarmu. Ya, orang ketawa dong. Tangkis! Jangan sampai api itu melukaimu. Apa yang kita terima, jika itu baik jangan sampai membuat kita terlena. Kalau yang kita terima buruk, jangan biarkan itu membunuh kita.”

“Setiap orang bertahan dengan pilihan masing-masing. Setiap jalan yang dipilih pasti ada salah dan benarnya. Jika berani memilih, berani juga menerima apa pun konsekuensinya.”

“Itu keputusanmu. Berubahlah karena kamu ingin, bukan terpaksa. Berubahlah untuk kebaikanmu sendiri, bukan untuk mendapatkan pengakuan orang lain.”

“Jika seseorang pamit karena sebuah alasan, suatu hari nanti pasti akan pulang dengan alasan yang sama.”

No comments:

Post a Comment