Sunday, November 10, 2024

[REVIEW] Once in A Moon

Once in A Moon
Mutia Ramadhani
One Peach Media
294 Halaman

“Betul, Yon, menahan diri bukan berarti kalah. Kalau menyerah, itu baru kalah.”


B L U R B

Kaluna selalu menemukan kedamaian dalam cahaya bulan, satu-satunya saksi bisu dari rasa sakit yang dia sembunyikan. Dikhianati oleh cinta yang dia percayai hingga didiagnosis cushing syndrome, Kaluna merasa dunia telah meninggalkannya dalam kegelapan abadi. 

Ketika Kaluna merasa tak ada lagi yang bisa mengerti hatinya, dia bertemu dengan Saga, seorang fotografer dengan tatapan dalam seperti malam yang penuh misteri. Sama seperti Kaluna, Saga juga memiliki masa lalu yang penuh luka, juga rahasia. Mereka berbagi cerita, mimpi, dan ketakutan, menemukan bahwa cinta bisa lahir kembali di bawah cahaya bulan yang sama. 

"Once in a Moon" adalah kisah tentang cinta yang ditemukan dalam keheningan malam, di mana dua jiwa yang terluka saling menyembuhkan. Apakah Kaluna dan Saga akan menemukan cinta yang mereka dambakan, atau akankah masa lalu terus menghantui mereka selamanya?


Kehidupan pernikahan biasanya digambarkan dengan indah. Terbangun sebagai suami istri, belum lagi kalau sudah memiliki anak. Kata orang, sudah keluarga yang sempurna. Sayangnya, hal ini tidak dirasakan Kaluna. Dia mengetahui ada yang disembunyikan oleh suaminya. Apalagi bukti yang didapatkan cukup kuat. Yang Kaluna pikirkan hanya kedua anaknya yang masih membutuhkan sosok Ayah selagi mereka bertumbuh. Tidak cukup sampai di sana, Kaluna juga menderita Cushing syndrome, penyakit yang cukup membuatnya harus sebaik mungkin menjaga diri.
“Jika Ibu ada waktu, saya sarankan Ibu berkonsultasi dengan psikolog juga. Kadang kita terlalu fokus pada kesehatan fisik, padahal kesehatan mental juga sama pentingnya.” — P. 37
Bekerja sesuai passion, siapa sih yang nggak mau? Pekerjaan Saga adalah pekerjaan yang diinginkan banyak orang, bekerja sesuai passion. Pembawaan yang cukup ceria membuat pertemuan Saga dan Kaluna terasa lebih mudah. Apalagi ternyata mereka juga memiliki masa lalu yang mirip. Tapi apa mereka bisa saling menyembuhkan satu sama lain?


Tujuan utama pernikahan itu adalah hidup bersama, menua dan bahagia, selalu ada untuk satu sama lain di saat sedih dan sakit. Sayangnya, semua tidak selalu seperti ini. Ada pernikahan yang harus berhenti di tengah jalan karena ketidaksamaan visi misi, atau malah orang ketiga. Hal yang sama juga terjadi pada kisah Kaluna. Tentu saja dia berharap banyak pada Erdian—suaminya, yang ternyata malah punya rahasia yang disembunyikan.

Selama membaca, aku geregetan banget sama Kaluna, dengan pembawaannya yang super tenang dan berhati-hati, kalau aku di posisi Kaluna, mungkin aku udah mencak-mencak dapet bukti bahwa suamiku melakukan pengkhianatan. Selain itu, Kaluna juga cukup keras kepala untuk penyakit yang dideritanya. Gemes banget pokoknya sama Kaluna ini.

Tokoh favoritku di sini adalah Saga, nggak banyak cowok yang kalau punya masalah itu diem, dan tetap berusaha untuk memikirkan hal yang lebih penting. Punya masalah yang sama dengan Kaluna, malah nggak bikin Saga kapok untuk mendekati Kaluna. Apalagi dengan posisi Kaluna yang sedang punya penyakit dan butuh support, Saga juara! Siap kapan pun deh pokoknya. Selain Saga, aku juga sayang sekali sama Bu Anes—ibu Kaluna, dia bener-bener mau mensupport apapun keputusan anaknya, mau mengerti dan cari tau penyakit anaknya ini penanganannya seperti apa. Nggak banyak ibu yang seperti ini, kalau kalian punya salah satunya, dijaga baik-baik yaa..

Selain membahas tentang perceraian, di sini banyak juga digambarkan profesi Kaluna dan Saga. Kaluna yang fokus terhadap konservasi alam, Saga yang sangat mendalami tentang fotografi dan bekerja sesuai passionnya. Nggak cuma itu aja, kita juga diajak jalan-jalan keliling pantai Bali dan keindahan lautnya! Duhhh.. jadi pengen ke Bali lagi. Terakhir ke sana kayaknya pas aku kelulusan SMA deh, dan udah berapa tahun yang lalu coba. 

Kalau kalian membaca Once in A Moon, jangan lupa perhatikan juga timeline waktunya ya. Karena timeline waktunya maju mundur dan kita akan diajak kembali ke masa-masa Kaluna masih bersama dengan suaminya. 

Last, Once in A Moon sangat menarik untuk dibaca, dan membuatku tau bahwa ada penyakit Cushing Syndrome. Lagi-lagi mengingatkanku untuk lebih menikmati hidup, jangan terlalu stres. Karena kalo stres, semua bagian tubuh tuh jadi kacau, asam lambung jadi naik, mungkin kalau parah, bisa muncul juga Cushing Syndrome juga.


From the book…
“Jangan egois, Erdian. Kamu nggak mau kita cerai, tapi kamu juga nggak mau ninggalin perempuan itu. Biar aku yang memudahkan. Aku mau kita cerai.” — P. 27

“Betul, Yon, menahan diri bukan berarti kalah. Kalau menyerah, itu baru kalah.” — P. 46

“Seseorang yang telah dimaafkan tidak bisa mengharapkan kesalahannya dilupakan. Dia tidak memiliki hak untuk meminta agar orang yang telah dia lukai melupakan tidakannya yang merugikan.” — P. 49

“Erdian, perceraian tidak selamanya adalah aib. Tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk memberi tahu anak-anak tentang itu. Entah sekarang atau nanti, mereka pasti akan mengetahuinya.” — P. 50

“Ketakutan akan masa depan adalah hal yang alami, Luna, tapi nggak seharusnya jadi mimpi buruk kamu. Mimpi buruk terjadi ketika kita membiarkan ketakutan itu menguasai pikiran kita.” — P. 93

“Kadang, ketika dua orang bertemu lagi setelah lama berpisah, apa pun bisa terjadi, Lun. From what seemed impossible, it becomes possible.” — P. 109

“Mungkin kebahagian itu tidak selalu datang dari orang lain, Ga. Kadang, kita harus mencarinya dalam diri kita sendiri.” — P. 112

“Sejak kita lahir, kita sendiri, Luna. No one is born just to place you or take care of you. Even itu anak kembar, mereka punya jalan hidup masing-masing.” — P. 157

“Luna, life is not fair. Dalam saat-saat terburuk, yang terbaik adalah mengandalkan diri sendiri. Karena jika kamu selalu mengandalkan orang lain, kamu akan selalu bergantung pada mereka setiap kali menghadapi rintangan. Dan itu nggak mungkin terjadi setiap saat, Luna.” — P. 158

“Tapi, kamu harus tahu, cinta itu lebih dari sekadar harapan buat memperbaiki sesuatu yang sudah rusak. Kadang-kadang cinta yang paling besar adalah saat kita rela melepaskannya.” — P. 193 to 194

“Tapi cinta itu nggak bisa hanya berisi penyesalan dan rasa takut kehilangan. Cinta adalah ketika kamu bisa jujur, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang yang kamu cintai.” — P. 194

“Buat aku, cinta bukan tentang menghindari rasa sakit, tapi tentang menerima bahwa rasa sakit itu mungkin ada, dan kita tetap memilih untuk saling mencintai.” — P. 227

“Dalam hidup, kita sering dihadapkan pada pilihan yang sulit. Bapak tidak pernah menyalahkan kamu. Hidup itu tentang mencoba, belajar, dan kadang kita jatuh. Yang penting adalah bagaimana kita bangkit dan terus melangkah.” — P. 239

“Perasaan aku sama kamu bukan sekadar cinta, tetapi juga pengertian dan dukungan. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu, melewati setiap tantangan, merayakan kebahagiaan cuma sama kamu.” — P. 269

“Karena kamu selalu indah di mataku, Lun. Bahkan di saat-saat yang kamu pikir biasa aja.” — P. 308

Sunday, November 3, 2024

[REVIEW] Mirah

Mirah
Elisabeth Ika
Bhuana Sastra
291 Halaman

“Yang mau aku tahu soal kamu adalah kamu yang sekarang dan apa yang kamu pengin buat masa depan. Bukan yang ada di belakang.”


B L U R B

Tidak berpendidikan tinggi, diceraikan suami ketika pernikahannya belum seumur jagung, pun menjadi anak tengah ketika kakak-adiknya tidak dapat diandalkan, membuat Mirah Paramastri harus menutup telinganya rapat-rapat dari gunjingan tetangga. Kesempatan baru hinggap ke hidup Mirah. Atas keinginan memperbaiki nasib keluarga, Mirah hanya ingin bekerja tanpa drama dan menabung untuk kembali menata masa depannya.

Namun, insiden kopi di hari pertamanya bekerja seperti benang yang mengikat tangannya pada sosok Adhirajasa Gama Saputra, kepala gudang pabrik kecap tempat Mirah bekerja. Segala keramahan dan perhatian yang dicurahkan Dhira ternyata menimbulkan masalah baru nan pelik. Mirah harus buru-buru menarik diri sebelum terlambat, atau justru dia terbuai oleh kehadiran Dhira?

- - - - - - - - -

Kehidupan Mirah tidaklah mudah, selain harus membantu ibunya bekerja setiap hari, dia juga harus menebalkan telinga saat tetangganya sibuk bergunjing tentang dirinya yang baru saja bercerai. Tak hanya itu, Mirah juga tamatan SMA, semakin menjadilah omongan tetangga tentangnya.
“Orang miskin enggak boleh capek. Enggak boleh sakit. Enggak boleh mengeluh, supaya punya duit buat makan besok. Atau setidaknya, biar bisa bayar cicilan utang.” — P. 87
Mendapatkan pekerjaan di pabrik, bagi Mirah sudah sebuah anugrah. Setidaknya, dia bisa membantu ibunya lebih banyak, dan mungkin ini jawaban Tuhan atas keinginannya melanjutkan sekolah lagi. Mirah tidak terlalu banyak berharap tentang lingkungan kantor. Baginya yang terpenting adalah bekerja. Teman dekatnya adalah Ratih, seorang office girl yang selalu menemaninya saat makan siang di pantry. Bagi Mirah, ini sudah lebih dari cukup.

Pertemuannya pertamanya dengan Dhira membuat Mirah menjadi sangat berhati-hati, supaya ke depannya tidak terjadi lagi hal seperti itu. Apalagi Mirah anak baru. Sayangnya, Dhira sepertinya senang sekali mendekat dan selalu berusaha agar bisa mendapatkan perhatian Mirah. Bagaimana tanggapan Mirah kali ini? Apakah dia akan tetap fokus pada tujuan awalnya datang kemari, atau malah akan menanggapi Dhira?


Hidup perempuan di Indonesia ini kayaknya susah banget deh. Terlalu banyak standard yang harus diikuti, harus cantik, tinggi, putih. Spec untuk dijadikan istri harus pinter masak, nggak boleh mbantahan, pinter ngurus rumah. Nanti kalo sekolah tinggi-tinggi bilangnya bikin laki-laki keder, kalo terlalu pinter bikin laki minder. Berkebalikan dengan perempuan, laki-laki kulihat lebih mudah. Bebas menentukan apa yang dia mau. Sekolah tinggi, ya memang sudah sewajarnya, punya pendapatan besar, diapresiasi. Bahkan kadang mokondo pun masih dimaklumi.

Sama seperti Mirah, tidak berpendidikan tinggi, bercerai pula. Kurasa, orang-orang juga nggak akan peduli apa alasannya bercerai. Yang penting statusnya. Kalau bercerai, ya berarti dia bermasalah. Nggak cuma itu, Eka—kakak Mirah pun hidup untuk dirinya sendiri, memiliki banyak hutang, hidup serampangan. Sementara adiknya, Suma, dia sibuk sendiri dengan kegiatan perkuliahannya. Jadi ya bisa dibilang, semuanya ditanggung Mirah.

Waktu awal membaca Mirah, aku heran, kenapa Mirah ini diem aja, apa-apa diterima, diomongin tetangga, ibunya yang menyuruhnya sabar kalau kakaknya mulai berulah. Ya ampun Mirah, aku nggak sesabar itu. Kayaknya aku bakalan tiap hari uring-uringan, sambat dan gelut sama kakakku sendiri. Aku juga penasaran alasan Mirah bercerai, karena kalau melihat Mirah yang seperti itu, seharusnya dia nggak ada masalah di dalam rumah tangganya. Ternyata, ada hal lain yang cukup bikin nyesek dan trauma juga kalau untuk ukuran Mirah. Jadi ya nggak menyalahkan juga kalau Dhira pas deketin Mirah susah banget.

Alur yang dipakai di sini maju mundur, untuk menjelaskan masa lalu Mirah tentunya. Mengambil latar tempat di Malang, yang terlihat jelas dari cara berbicaranya dan juga beberapa tempat yang disebutkan kak Elisabeth. Duh, aku jadi kangen ke Malang juga. Terakhir kali ke Malang pas hamil besar, habis itu belum ke sana lagi. Hihi..

Selain mengangkat isu perempuan dan perceraian, kak Elisabeth juga menyelipkan bagaimana pernikahan di mata Gereja. Sejauh yang aku tau, Gereja Katolik memang nggak ada perceraian, adanya pembatalan pernikahan. Untuk akte cerainya, nanti dikeluarkan dari catatan sipil. Ternyata pengajuannya nggak mudah ya. Aku jadi inget sama Romo yang mendampingi aku di masa kanonik, sejak awal aku diwawancarai, dia selalu tanya, apa calon suamiku ini sudah pilihan yang terbaik yang aku mau? Nggak ada desakan atau tuntutan dalam pernikahan ini? Tidak ada ‘kecelakaan’ yang mengharuskan aku menikah? Karena kalau ada, dan memang aku masih ragu, Romonya malah menyarankan untuk pemberkatan di luar agama Katolik, karena no way back. Ada konsekuensi juga kalau kita sampai melakukan pembatalan pernikahan.

Kisah Mirah bener-bener sederhana dan dekat sekali dengan kita. Apalagi bertemu dengan Dhira, cowok yang ijo royo-royo! Kayaknya perlu ada satu Dhira di setiap kota deh, biar hati tenang dan hidup lebih semangat.


From the book…
“Saya tidak butuh orang pintar saja. Saya butuh orang yang mau memanfaatkan kesempatan dengan baik dan benar, cerdas, cekatan, tangguh, berani-tapi tidak banyak bicara.” — P. 19

“Yang mau aku tahu soal kamu adalah kamu yang sekarang dan apa yang kamu pengin buat masa depan. Bukan yang di belakang.” — P. 137

“Bilang saja, Mir. Ceritain masalah-masalahmu. Entah aku bisa membantu atau enggak, setidaknya aku bisa temenin kamu, biar kamu enggak perlu malu. Ada aku, Mirah. Ada aku di pihak kamu.” — P. 201

“Bapak bilang jangan menahan diri. Aku boleh marah kalau hakku dirampas. Aku boleh menangis kalau aku kecewa. Aku boleh menangis kalau aku terluka. Bapak bilang tidak apa-apa, karena kita manusia yang punya emosi. Marah, kecewa, dan menangis bukan menandakan kalau kita lemah.” — P. 230

“Pernikahan buat kalian adalah sesuatu yang sulit, Mbak Mirah. Kita sama-sama tahu tentang ini. Saya bukan menilai seseorang dari masa lalunya, tapi kalau masa depannya saja tidak ada buat apa dipertahankan seterusnya?” — P. 266

“Enggak tahu. Memangnya harus punya alasan buat jatuh cinta sama orang? Memangnya kamu punya alasan kenapa sayang sama aku?” — P. 290