Sunday, November 3, 2024

[REVIEW] Mirah

Mirah
Elisabeth Ika
Bhuana Sastra
291 Halaman

“Yang mau aku tahu soal kamu adalah kamu yang sekarang dan apa yang kamu pengin buat masa depan. Bukan yang ada di belakang.”


B L U R B

Tidak berpendidikan tinggi, diceraikan suami ketika pernikahannya belum seumur jagung, pun menjadi anak tengah ketika kakak-adiknya tidak dapat diandalkan, membuat Mirah Paramastri harus menutup telinganya rapat-rapat dari gunjingan tetangga. Kesempatan baru hinggap ke hidup Mirah. Atas keinginan memperbaiki nasib keluarga, Mirah hanya ingin bekerja tanpa drama dan menabung untuk kembali menata masa depannya.

Namun, insiden kopi di hari pertamanya bekerja seperti benang yang mengikat tangannya pada sosok Adhirajasa Gama Saputra, kepala gudang pabrik kecap tempat Mirah bekerja. Segala keramahan dan perhatian yang dicurahkan Dhira ternyata menimbulkan masalah baru nan pelik. Mirah harus buru-buru menarik diri sebelum terlambat, atau justru dia terbuai oleh kehadiran Dhira?

- - - - - - - - -

Kehidupan Mirah tidaklah mudah, selain harus membantu ibunya bekerja setiap hari, dia juga harus menebalkan telinga saat tetangganya sibuk bergunjing tentang dirinya yang baru saja bercerai. Tak hanya itu, Mirah juga tamatan SMA, semakin menjadilah omongan tetangga tentangnya.
“Orang miskin enggak boleh capek. Enggak boleh sakit. Enggak boleh mengeluh, supaya punya duit buat makan besok. Atau setidaknya, biar bisa bayar cicilan utang.” — P. 87
Mendapatkan pekerjaan di pabrik, bagi Mirah sudah sebuah anugrah. Setidaknya, dia bisa membantu ibunya lebih banyak, dan mungkin ini jawaban Tuhan atas keinginannya melanjutkan sekolah lagi. Mirah tidak terlalu banyak berharap tentang lingkungan kantor. Baginya yang terpenting adalah bekerja. Teman dekatnya adalah Ratih, seorang office girl yang selalu menemaninya saat makan siang di pantry. Bagi Mirah, ini sudah lebih dari cukup.

Pertemuannya pertamanya dengan Dhira membuat Mirah menjadi sangat berhati-hati, supaya ke depannya tidak terjadi lagi hal seperti itu. Apalagi Mirah anak baru. Sayangnya, Dhira sepertinya senang sekali mendekat dan selalu berusaha agar bisa mendapatkan perhatian Mirah. Bagaimana tanggapan Mirah kali ini? Apakah dia akan tetap fokus pada tujuan awalnya datang kemari, atau malah akan menanggapi Dhira?


Hidup perempuan di Indonesia ini kayaknya susah banget deh. Terlalu banyak standard yang harus diikuti, harus cantik, tinggi, putih. Spec untuk dijadikan istri harus pinter masak, nggak boleh mbantahan, pinter ngurus rumah. Nanti kalo sekolah tinggi-tinggi bilangnya bikin laki-laki keder, kalo terlalu pinter bikin laki minder. Berkebalikan dengan perempuan, laki-laki kulihat lebih mudah. Bebas menentukan apa yang dia mau. Sekolah tinggi, ya memang sudah sewajarnya, punya pendapatan besar, diapresiasi. Bahkan kadang mokondo pun masih dimaklumi.

Sama seperti Mirah, tidak berpendidikan tinggi, bercerai pula. Kurasa, orang-orang juga nggak akan peduli apa alasannya bercerai. Yang penting statusnya. Kalau bercerai, ya berarti dia bermasalah. Nggak cuma itu, Eka—kakak Mirah pun hidup untuk dirinya sendiri, memiliki banyak hutang, hidup serampangan. Sementara adiknya, Suma, dia sibuk sendiri dengan kegiatan perkuliahannya. Jadi ya bisa dibilang, semuanya ditanggung Mirah.

Waktu awal membaca Mirah, aku heran, kenapa Mirah ini diem aja, apa-apa diterima, diomongin tetangga, ibunya yang menyuruhnya sabar kalau kakaknya mulai berulah. Ya ampun Mirah, aku nggak sesabar itu. Kayaknya aku bakalan tiap hari uring-uringan, sambat dan gelut sama kakakku sendiri. Aku juga penasaran alasan Mirah bercerai, karena kalau melihat Mirah yang seperti itu, seharusnya dia nggak ada masalah di dalam rumah tangganya. Ternyata, ada hal lain yang cukup bikin nyesek dan trauma juga kalau untuk ukuran Mirah. Jadi ya nggak menyalahkan juga kalau Dhira pas deketin Mirah susah banget.

Alur yang dipakai di sini maju mundur, untuk menjelaskan masa lalu Mirah tentunya. Mengambil latar tempat di Malang, yang terlihat jelas dari cara berbicaranya dan juga beberapa tempat yang disebutkan kak Elisabeth. Duh, aku jadi kangen ke Malang juga. Terakhir kali ke Malang pas hamil besar, habis itu belum ke sana lagi. Hihi..

Selain mengangkat isu perempuan dan perceraian, kak Elisabeth juga menyelipkan bagaimana pernikahan di mata Gereja. Sejauh yang aku tau, Gereja Katolik memang nggak ada perceraian, adanya pembatalan pernikahan. Untuk akte cerainya, nanti dikeluarkan dari catatan sipil. Ternyata pengajuannya nggak mudah ya. Aku jadi inget sama Romo yang mendampingi aku di masa kanonik, sejak awal aku diwawancarai, dia selalu tanya, apa calon suamiku ini sudah pilihan yang terbaik yang aku mau? Nggak ada desakan atau tuntutan dalam pernikahan ini? Tidak ada ‘kecelakaan’ yang mengharuskan aku menikah? Karena kalau ada, dan memang aku masih ragu, Romonya malah menyarankan untuk pemberkatan di luar agama Katolik, karena no way back. Ada konsekuensi juga kalau kita sampai melakukan pembatalan pernikahan.

Kisah Mirah bener-bener sederhana dan dekat sekali dengan kita. Apalagi bertemu dengan Dhira, cowok yang ijo royo-royo! Kayaknya perlu ada satu Dhira di setiap kota deh, biar hati tenang dan hidup lebih semangat.


From the book…
“Saya tidak butuh orang pintar saja. Saya butuh orang yang mau memanfaatkan kesempatan dengan baik dan benar, cerdas, cekatan, tangguh, berani-tapi tidak banyak bicara.” — P. 19

“Yang mau aku tahu soal kamu adalah kamu yang sekarang dan apa yang kamu pengin buat masa depan. Bukan yang di belakang.” — P. 137

“Bilang saja, Mir. Ceritain masalah-masalahmu. Entah aku bisa membantu atau enggak, setidaknya aku bisa temenin kamu, biar kamu enggak perlu malu. Ada aku, Mirah. Ada aku di pihak kamu.” — P. 201

“Bapak bilang jangan menahan diri. Aku boleh marah kalau hakku dirampas. Aku boleh menangis kalau aku kecewa. Aku boleh menangis kalau aku terluka. Bapak bilang tidak apa-apa, karena kita manusia yang punya emosi. Marah, kecewa, dan menangis bukan menandakan kalau kita lemah.” — P. 230

“Pernikahan buat kalian adalah sesuatu yang sulit, Mbak Mirah. Kita sama-sama tahu tentang ini. Saya bukan menilai seseorang dari masa lalunya, tapi kalau masa depannya saja tidak ada buat apa dipertahankan seterusnya?” — P. 266

“Enggak tahu. Memangnya harus punya alasan buat jatuh cinta sama orang? Memangnya kamu punya alasan kenapa sayang sama aku?” — P. 290

No comments:

Post a Comment