Friday, January 7, 2022

[REVIEW] Ours

Ours

Adrindia Ryandisza

208 Halaman

"Enggak semua perempuan yang melahirkan siap menjadi Ibu. Kasihan si anak enggak bisa memilih siapa orangtuanya. Seharusnya enggak ada cetakan absolut dalam hidup, bahwa setiap pasangan yang menikah harus memiliki anak."


B L U R B

Menurutmu, mempunyai anak itu pilihan atau keharusan?

Latar belakang keluarga yang berbeda tak lantas membuat Prita dan Andi berdebat panjang saat diskusi tentang anak. Sebelum menikah, mereka sudah bersepakat untuk hidup tenang dan damai berdua saja sampai tua. Mereka bahagia.

Sayangnya, prinsip mereka dianggap melenceng oleh keluarga Andi yang konservatif. Prita dianggap melawan kodrat. Beberapa perkataan dan perilaku anggota keluarga Andi membuat pasangan itu mengelus dada.

Situasi di sekitar mereka semakin mengancam. Kenzo, rekan kerja Prita mulai terang-terangan mendekatinya. Belum lagi ibu yang menelantarkan Prita sejak kecil, tiba-tiba menuntut perhatiannya. Kedai kopi yang terancam bangkrut pun menguras pikiran Andi.

Keduanya tidak ingat lagi cara berbahagia. Komunikasi di antara mereka mulai terhambat. Namun, rumah tangga mereka teraasa begitu riuh karena mulai terdengar suara-suara orang lain. Kehidupan Prita dan Andi pun tak lagi hanya miliki mereka berdua.

- - - - - - - -

Prita dan Andi, pasangan yang baru saja menikah ini sudah memutuskan untuk tidak memiliki anak dengan alasan yang tentu saja sudah dipaparkan jelas oleh Prita sebelum keduanya memutuskan menikah. Sebagai pasangan, Andi tidak melarangnya. Dia setuju dengan keputusan Prita untuk tidak memiliki anak. Apalagi kalau melihat keempat anak kakaknya yang jarak kelahirannya cukup dekat membuatnya berpikir kembali.
"Menikah itu ternyata nggak hanya berdua, tapi juga keluarga besar. Coba gue tahu itu dari dulu. Bayangin aja, dulu gue dirawat baik-baik ama bokap-nyokap gue, tapi sama mertua diperlakukan semena-mena kayak sapi perah. Maunya anaknya diperlakukan baik, tapi lupa memperlakukan anak orang juga sama baiknya." P. 52
Sayangnya, pemikiran mereka nggak disampaikan ke keluarga Andi, yang kemudian menjadi boomerang untuk keduanya. Menikah tapi tidak memiliki anak? Berarti ada yang salah dari keduanya, mandul mungkin? Atau ada penyakit lain yang menghambat. Hal inilah yang membuat mereka awalnya biasa-biasa aja, jadi mulai sedikit kesal karena desakan yang nggak jelas. Nggak hanya itu saja, mulai hadir sosok Kenzo, rekan kerja Prita yang sedang mengalami hal tidak mengenakkan di dalam hubungannya, membuatnya merasa Prita adalah teman senasibnya.

Kalau sudah begini, bisakah Prita dan Andi kembali on track?


R E V I E W
 
Akhirnya mendapatkan kesempatan untuk membaca buku ini. Awalnya, kukira bakalan membahas childfree yang berujung punya anak. Ternyata enggak. Ceritanya kompleks banget.

Memutuskan untuk punya anak itu adalah sesuatu yang besar. Nggak hanya dari sisi financial, tapi juga dari sisi mental. Mental siapa? Tentu aja ibunya. Jadi perempuan di Indonesia ini berat. Kalo sekolah ketinggian, dikata nggak ada cowok yang mau. Giliran nggak kunjung dapet pasangan, suka pilih-pilih. Udah dapet pasangan dan menikah, anak yang ditanyain. Anak sudah ada, nambah adik dan seterusnya. Nggak habis-habis. Hidup jadi ada templatenya. Lahir, sekolah, menikah, bekerja, punya anak. Oh salah, kalau perempuan bekerja dan nggak mengurus rumah, nanti akan ada omongan, kok kerja, kenapa nggak ngurus rumah aja? See? Netijen budiman selalu punya pertanyaan.

Membaca kisah Prita dan Andi ini menurutku relate sekali dengan kehidupan sehari-hari. Stigma perempuan yang kerja dan punya jabatan bagus, ego seorang suami, keluarga suami yang kadang bisa resek abis, dan juga masa lalu seseorang yang nggak pernah kita ketahui. Dimulai dari Prita, yang ternyata punya masa lalu yang cukup buruk, sehingga membuat dia memutuskan untuk nggak punya anak. Ternyata banyak hal yang bisa bikin orang nggak mau punya anak lho. Dan kita nggak bisa sembarangan memutuskan untuk menghakimi dia untuk alasan apapun.

Pembahasan yang cukup kompleks, dan aku suka! Di bagian awal cerita, menurutku sangat pelan dan lambat. Pas sampe di pertengahan sampai akhir, bener-bener seru. Karena Prita udah mulai ngbahas kalau dirinya nggak mau punya anak, yang aku tau, ngbahas itu sama orang tua, apalagi yang ngebet banget pengen punya cucu itu susah banget.

Overall, aku suka sekali sama novel ini. Jadi nggak sabar baca novel kak Adrindia yang lainnya. Malahan kukira ini novel pertamanya dia. Hehehe..


Quote from Book:
"Enggak semua perempuan yang melahirkan siap menjadi Ibu. Kasihan si anak enggak bisa memilih siapa orangtuanya. Seharusnya enggak ada cetakan absolut dalam hidup, bahwa setiap pasangan yang menikah haris memiliki anak." P. 8

"Menikah itu ternyata nggak hanya berdua, tapi juga keluarga besar. Coba gue tahu itu dari dulu. Bayangin aja, dulu gue dirawat baik-baik ama bokap-nyokap gue, tapi sama mertua diperlakukan semena-mena kayak sapi perah. Maunya anaknya diperlakukan baik, tapi lupa memperlakukan anak orang juga sama baiknya." P. 52
 
"Berpisah nggak sepenuhnya bikin situasi membaik. Terutama, gue memilih menyerah dibanding berjuang untuk mantan istri gue dan akhirnya berpisah. Gue merasa gagal. Jadi, gue nggak mau lo merasakan pahit yang sama dan menyesal." P. 53
 
"Jangan sampai begitu. Artinya, aku gagal melindungi kamu. Terburuknya, dari keluargaku sendiri." P. 65
 
"Bukan mana dari kita yang lebih kuat, Ndi. Yang utama itu kita saling menguatkan. Kamu yang bikin aku berusaha untuk sekuat apa pun." P. 118
 
"Seorang anak adalah makhluk bernyawa dan berperasaan, tidak seharusnya dijadikan taruhan untuk melihat apakah dirinya bisa menjadi ibu yang baik ataupun tidak." P. 131
 
"Bukannya nanti kalau Ibu atau Bapak sakit, aku nggak mau ngurusin. Tapi, menurutku, seorang anak itu punya kewajiban untuk mengurus hidupnya sendiri dan kami nggak mau membebani. Kalau nantinya aku atau Prita sakit, kami akan saling menemani. Selain itu ada tenaga medis yang lebih berpengalaman untuk mengurus." P. 132
 
"Melahirkan seorang anak itu enggak serta-merta membuatmu jadi seorang ibu dan aku anakmu. Dari awal kita enggak ada keterikatan seperti itu, Ma." P. 168

"Gue rasa lo itu punya prinsip. Itu harusnya bagus. Jadi, lo kagak bakal kepengaruh kata-kata orang juga. Dan suami-istri itu harus punya prinsip yang sama. Wah, kalau kagak, bisa kayak gue. Rumah tangganya gonjang-ganjing karena kata orang." P. 174

"Untuk orangtua, anak itu selalu jadi anak. Kalau memang orangtuanya masih sanggup bantu, ya udah. Keinginan Bapak cuma satu. Tidak merepotkan anak kalau tua nanti. Dulu juga Bapak takut kalau kepepet uang minta ke kakekmu, tapi keluarga Bapak tidak bisa dikasih makan ego Bapak." P. 178

No comments:

Post a Comment