Thursday, May 26, 2022

[REVIEW] Sophismata

Sophismata

Alanda Kariza

Gramedia Pustaka Utama

272 Halaman

"Gue paling nggak suka baca headline seperti itu. Perempuan kan bukan aksesori. Tapi kadang mereka sendiri sih yang membuat seolah-olah perempuan itu cuma aksesori. Gue sih nggak mau ya."


B L U R B

Sigi sudah tiga tahun bekerja sebagai staf anggota DPR, tapi tidak juga bisa menyukai politik. Ia bertahan hanya karena ingin belajar dari atasannya—mantan aktivis 1998—yang sejak lama ia idolakan, dan berharap bisa dipromosikan menjadi tenaga ahli. Tetapi, semakin hari ia justru dipaksa menghadapi berbagai intrik yang baginya menggelikan.

Semua itu berubah ketika ia bertemu lagi dengan Timur, seniornya di SMA yang begitu bersemangat mendirikan partai politik. Cara pria itu membicarakan ambisinya menarik perhatian Sigi. Perlahan Sigi menyadari bahwa tidak semua politisi seburuk yang ia pikir.

- - - - - - - -

Akhirnya memutuskan untuk melanjutkan membaca buku ini. Hihi.. Padahal buku ini sudah lama kupunya, sempat beberapa tahun lalu ku baca, tapi kemudian aku nggak kuat sama tema politiknya, kayak nggak masuk aja dalam bayanganku. Padahal baru juga jalan berapa halaman. Jadi keliatan ya, buku ini sudah terpendam berapa lama? Mueheh..

Menceritakan tentang Sigi, perempuan yang bekerja menjadi staf anggota DPR yang mana beliau merupakan mantan aktivis di tahun 1998, dengan jadwal yang padat. Tapi buat Sigi, nggak masalah. Dia sedang mencoba mendalami dunia politik, meski dia nggak suka-suka amat di dunia ini. Baginya, yang paling menyenangkan adalah saat dia mencampurkan bahan-bahan untuk membuat sebuah kue, bagaimana caranya meracik, memasukkan bahan-bahan, dan menghasilkan kue yang sesuai dengan ekspektasinya.

Yang dikejar seorang Sigi adalah menjadi tenaga ahli. Namun, untuk menjadi tenaga ahli, sebenernya dibutuhkan lanjutan pendidikan S2. Sedangkan Sigi, nggak mau untuk melanjutkan S2, karena belum ada jaminan bahwa dia langsung menjadi tenaga ahli. Meskipun begitu, hal ini nggak membuat Sigi semata-mata cuma di situ-situ aja lho. Dia juga berusaha untuk menyamai cara bekerja dan juga pemikiran atasannya ini. Cukup salut lho sama Sigi ini. Kalau aku jadi Sigi, mungkin aku sudah menyerah di tahun kedua. Karena namanya penantian kan tetep aja ada batas waktunya, bukan menunggu terus tanpa ada kepastian.
"Semua akan baik-baik saja, Gi. Semua hal selalu berakhir baik-baik saja. Kalau belum baik, berarti itu belum akhirnya." P. 166
Pertemuan Sigi dengan Timur, kakak kelasnya saat SMA, sedikit banyak menjadi hawa segar bagi Sigi.  Timur ini tipe orang yang sangat enak diajak ngomong, apalagi kalau ngebahas tentang hal-hal yang disukainya. Duh, sama kayak Sigi waktu dia masukin bahan-bahan yang disiapkannya untuk membuat kue yang diinginkannya.

Pertemuan mereka terjadi karena Timur butuh pandangan Johar—atasan Sigi—terhadap sebuah partai. Karena Johar, selain menjadi anggota DPR, dia dulunya adalah aktivis sekaligus pendiri sebuah partai. Jadi cocok sekali untuk riset Timur yang akan mendirikan sebuah partai juga. Sejak saat itulah, Sigi dan Timur kembali dekat. Awalnya, Sigi juga risih dengan kehadiran Timur, karena dia sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri, pulang kerja juga sendiri. Nggak ada yang bisa diajak ngomong untuk diskusi juga, jadi ya ditelan sendiri.

Selama ini Sigi nggak pernah protes terlalu banyak terhadap masalah apa pun yang terjadi terhadap Johar. Sampai di satu titik, masalah yang cukup besar membuat Sigi berpikir ulang, nyatanya, selama ini semua politikus itu sama aja. Nggak ada bedanya.

Pembahasan tentang politik cukup banyak dibahas di buku ini. Ya, meskipun aku nggak begitu suka sama politik, aku bisa menikmati buku ini, walaupun butuh waktu beberapa tahun setelahnya ya.

Aku suka sama karakter Sigi di sini. Tipe perempuan yang tau maunya apa, meski kadang dia juga butuh diyakinkan lagi, bahwa memang keputusan itu yang mau diambil sama dia.

Karakter Timur aku juga suka sekali. Sukaaaa banget! Jadi cowok yang nggak gampang ngejudge apa pun pilihan yang diambil Sigi. Nggak cuma itu, dia juga punya misi yang bagus dalam hidupnya. Jelas dan tertata. Sangat sulit buat ditemuin di cowok-cowok pada umumnya. 

Sedikit banyak aku jadi tahu, apa aja kegiatan politikus sebenernya. Ya.. nggak begitu jauh beda lah sama yang diberitakan. Tapi aku percaya, ada orang baik di dalam sana yang berusaha untuk memberikan yang terbaik, membalas kepercayaan masyarakat terhadap dia.


From the book...
"Politik adalah tempat kepentingan yang berbeda-beda diakomodir. Seperti memiliki satu piza yang hendak dimakan banyak orannng. Potong-potongannya dibagikan ke sana-sini. Berapa besarannya? Tergantung proporsi kontribusi mereka terhadap kemakmuran masyarakat." P. 10

"Semua orang berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencapai kesejahteraan, pendidikan, dan lainnya. Bukan cuma orang-orang di dalam partai, tapi juga Indonesia sebagai bangsa dan negara." P. 57 to 58

"Gue paling nggak suka baca headline seperti itu. Perempuan kan bukan aksesori. Tapi kadang mereka sendiri sih yang membuat seolah-olah perempuan itu cuma aksesori. Gue sih nggak mau ya." P. 105

"Manja, tapi ya nggak apa-apa. Wajar kalau mengeluh. Kita manusia kan memang begitu." P. 181

"Kalau boleh jujur, aku nggak terlalu percaya passion. Buatku, bikin kue itu semacam rekreasi. Aku takut kalau itu aku jadikan pekerjaan, nanti malah jadi nggak fun. Lagi pula, perkara do what you love itu terlalu utopis. Semua kerjaan, semenyenangkan apa pun, pasti pada satu titik akan melelahkan. Mending cari kerjaan yang aku sedikit suka, tapi sekaligus menantang. Biar aku juga bisa berkembang, ya kan?" P. 201

"Politik itu soal kekuasaan dan kepentingan. Aku pengin bisa memperjuangkan kepentingan orang banyak, tapi untuk bisa memperoleh itu, ya aku harus punya kekuasaan dulu. Jalan menuju hal itu panjang dan berliku." P. 234

No comments:

Post a Comment