Saturday, December 10, 2022

[REVIEW] Fireflies in the Midnight Sky

Fireflies in the Midnight Sky

Francisca Tody

Gramedia Pustaka Utama

360 Halaman

"Satu lagi keuntungan menjadi burung: mereka tidak mengenal garis perbatasan. Dua burung yang terbang berdampingan tidak perlu saling menanyakan dari mana asal mereka, tidak perlu saling curiga. Mereka bebas menikmati langit bersama."

 
B L U R B

"Hidup ini kejam. Hidup mempermainkan kita tanpa ampun. Menindas, mencemooh, bergembira melihat kita hancur, berbahagia saat kita terempas—"

"Tapi hidup mempertemukanku denganmu."

Alyssa bergabung dengan grup gerilya untuk bertahan hidup sejak negerinya diserang meski sebenarnya membenci kekerasan. Di tengah situasi yang semakin genting, Alyssa dikirim dalam misi yang berakhir kacau, lalu akhirnya terdampar dengan kaki terluka di teritori musuh.

Dan saat itulah Alyssa diselamatkan oleh Vigo, pemuda misterius yang merupakan musuh negerinya.

Setelah berhari-hari dalam teritori musuh, Alyssa sadar ternyata Vigo lebih mengerti pergumulan dan trauma gadis itu dibanding teman-teman sebangsanya. Namun, mereka berdua bagaikan air dan api. Saling menjinakkan, juga saling membinasakan. Saat ada percikan kasih sayang antara keduanya, adakah masa depan agar mereka bisa bersatu?

"Apa pun yang terjadi di masa depan, ingatlah hari-harimu di sini tanpa penyesalan."

- - - - - - - - - - - 

Hidup di sebuah gudang reyot selama sebulan lebih dengan bau oli yang bercampur debu, tempat yang berantakan dan perasaan was-was, rasanya sudah menjadi makanan Alyssa sejak dimulainya peperangan akibat Raja yang seenaknya sendiri.

Alyssa dan Mikail—sahabat Alyssa sejak SMP—memutuskan untuk selalu bersama, ya karena mereka hanya punya satu sama lain. Orang tua mereka meninggal akibat peperangan yang sampai saat ini masih belum berakhir. Menjadi seorang mata-mata memang tidak mudah. Selain fisik yang ditempa terus-menerus, Alyssa juga harus mempersiapkan mental ketika harus membunuh lawan mereka. Meskipun mereka hanya seorang petani yang tak sengaja berpapasan dengannya dan Mikail di gudang reyot.
"Kalau leluhur kita tidak pernah pindah dan benua itu masih ada, mungkin kau dan aku adalah tetangga. Mungkin kita akan bermain di ladang yang sama, memanjat pohon yang sama. Mungkin akulah yang akan menjadi sahabatmu di sekolah." P. 159
Pertemuan Alyssa dengan Vigo terjadi secara tidak disengaja. Vigo saat itu menyelamatkannya dari kejaran musuh, ya meskipun sebenarnya, Vigo sendiri ini juga kubu musuh. Tapi Alyssa tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu hingga kakinya pulih.

Selama masa tunggu inilah, Alyssa dan Vigo saling mengenal lebih dalam satu sama lain. Meskipun awalnya Alyssa takut dan kepikiran, karena Vigo yang mengetahui bahwa dia adalah musuhnya, dan juga partnernya yang terpisah. Lama kelamaan, mereka mulai mengesampingkan itu semua, dan sedikit banyak saling berbagi. Cerita, masa lalu, dan konflik yang terjadi saat ini.

Apakah Alyssa akan berkhianat terhadap negerinya, atau Vigo yang akan berkhianat?


Awal membaca novel ini, aku kira ini adalah novel terjemahan. Eh, pas baca, ternyata enggak. Ini karya lokal dan cukup menarik!

Membahas tentang peperangan sebuah negara, nggak hanya karena kepentingan seorang Raja, tapi juga kepentingan bawahan-bawahannya. Yang tersiksa siapa? Ya jelas masyarakat paling bawah. Sama seperti Alyssa, Vigo, dan banyak orang lainnya. Saling tuduh, merasa kepentingan dan keselamatannya jauh lebih penting ketimbang nyawa orang ataupun musuh. Bener-bener nggak pandang bulu. Tua, muda, pokoknya kalau terlihat kayak musuh, bunuh!

Nggak hanya menggambarkan suasana perang yang mencekam dan penuh dengan kewaspadaan, tapi di sini juga dijelaskan gimana perasaan dan mental para korban dan tentara yang menjaga negerinya. Aku berasa diajak jadi Alyssa. Nggak kebayang banget kalo harus perang, bergerilya, ngebunuh orang. Apalagi ini kan nggak kayak di game yang kalo mati tuh bisa direcall, atau balik ke lobby dan main game lagi.

Jujur, aku sempat bingung dengan setting waktunya. Karena kukira ini tuh kayak jaman dulu banget. Tapi ada pembahasan kuliah, handphone dan beberapa kemajuan jaman yamg menurutku kalo di masa lampau itu masih belum ada. Jadi yaa.. aku hanya nggak nangkep di sana sih.

Selama baca novel ini, aku ikut deng-degan bareng sama Alyssa. Apalagi waktu Alyssa dan Viga sempat ketahuan. Ya ampun, jantungku makin nggak karuan!


From the book...
"Mungkin pilihan adalah kemewahan tak terbeli di masa perang." P. 32

"Terkadang aku berharap bisa menjadi burung. Mereka terlihat begitu bebas engarungi angkasa. Dan di atas sana, mereka bisa memadang masalah dengan perspektif yang benar." P. 151 to 152

"Satu lagi keuntungan menjadi burung : mereka tidak mengenal garis perbatasan. Dua burung yang terbang berdampingan tidak perlu saling menanyakan dari mana asal mereka, tidak perlu saling curiga. Mereka bebas menikmati langit bersama." P. 152

"Bukan. Obsesi adalah keadaan negatif saat kau tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu." P. 209
 
"Hidup ini kejam. Hidup mempermainkan kita tanpa ampun. Menindas, mencemooh, bergembira melihat kita hancur, berbahagia saat kita terempas—" P. 213

"Kalian berdua bagaikan air dan api. Dua elemen yang berbeda. Keduanya kuat dan sulit dikendalikan. Tapi jika bersama, kalian mampu saling menjinakkan. Yang kalian miliki adalah sesuatu yang unik." P. 223

"Selamanya adalah waktu yang sangat panjang, Vigo. Siapa yang mampu menjanjikan hal semacam itu?" P. 310

"Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan hingga pantas menerima cinta seperti ini. Cinta yang tidak menuntut, tapi memberi. Tidak mengekang, justru membebaskan. Cinta yang realistis, tapi tetap setia." P. 310

No comments:

Post a Comment