Wednesday, December 20, 2023

[REVIEW] Little Did We Know

Little Did We Know

Mia Chuz

Falcon Publishing

355 Halaman

"Gue belajar banyak hal dari kepergian bokap. Gue lebih menghargai hal-hal kecil yang selama ini luput dari perhatian. Kadang kita baru merasa sesuatu itu berharga saat sudah kehilangan."


B L U R B

Adis menyukai pagi hari saat sarapan bersama kedua orang tuanya. Hatinya penuh syukur karena memiliki keluarga harmonis. Namun, kesempurnaan itu semu karena tiba-tiba saja orang tuanya memutuskan berpisah. Adis menentang keras keputusan itu dan melakukan pemberontakan.

Adis yang dikenal sebagai siswa berprestasi mulai bolos dan melanggar aturan. Dia bahkan menjadi dekat dengan Liam, cowok bercitra buruk di sekolahnya. Perubahan ini membuat kedua sahabatnya khawatir dan bermaksud membantu, tetapi Adis menolaknya. Adis semakin menjauh, bahkan uluran tangan dari Rey, cowok yang diam-diam dia sukai selama ini, juga diabaikan.

Adis tidak sadar bahwa perbuatannya malah berakibat buruk bagi dirinya sendiri, dan membuatnya hampir kehilangan orang-orang yang dia cintai.

- - - - - - - - -

Adistia Pitaloka, rasanya seisi sekolah mengetahui kalau dia adalah anak yang baik, teladan, juara, punya keluarga yang harmonis, sekaligus masa depan yang sudah tertata. Rasanya menyenangkan ya jadi Adis? Siapa sih yang nggak mau punya kehidupan kayak begitu? Bahkan kedua sahabatnya, Rana dan Kia juga menginginkan hal itu. Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama. Suatu hari, Ayah dan Ibunya mengabarkan bahwa mereka akan bercerai.
"Kadang kita menganggap apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang boleh atau benar, little did we know, it's not. And we'll regret it later." P. 260
Adis kehilangan arah. Apa yang harus dilakukannya? Mau cerita ke sahabatnya juga gimana? Gimana tanggapan mereka? Adis masih nggak siap dengan respon yang akan diberikan sahabatnya. Yang bisa dilakukannya hanya melakukan pemberontakan dengan harapan kedua orangtuanya akan kembali seperti dulu. Tapi apakah membantu?

Kisah Adis ini sangat realistis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Menurutku, Adis ini terbiasa hidup 'enak'. Enak di sini dia punya banyak kelebihan yang mungkin nggak dimiliki banyak orang. Pintar, keluarga harmonis, menjadi juara dan disanjung guru juga. Menyenangkan kan jadi Adis? Karena inilah, sekalinya dia tersandung masalah yang cukup berat, dia jadi kelimpungan.

Jahat banget ya kayaknya aku ambil kesimpulan kayak begitu? Ini sebenernya bisa dilihat juga dari caranya merespon salah satu sahabatnya yang nggak sepintar dia, ngomong kalau misalnya nilai jelek, mungkin emang usahanya kurang. Tapi emang kadang ada lho orang yang begitu, mau sebesar apapun usahanya, ya kadang emang nilainya segitu-gitu aja. Aku contohnya, ada beberapa mata pelajaran yang aku udah belajar mati-matian, sampe nangis, ya tetep remidi. Aku juga bingung kenapa, tapi karena aku bukan tipe yang suka ambil pusing, jadi yaudah.

Latar belakang setiap karakternya di sini juga cukup kuat, semua punya penjelasannya masing-masing, meskipun aku juga bertanya-tanya awalnya.

Karakter yang paling kusuka di sini... jujur bingung sih. Mungkin guru BK-nya ya. Haha.. Karena dia nggak judging! Mostly, orang akan melihat Liam sebagai anak orang kaya yang suka seenaknya sendiri, mainin cewek, suka bolos, badboy banget lah. Padahal, ada alasan lain dibalik itu, nggak banyak yang mau cari tau dan lebih enak ngecap dia jelek aja.

Aku suka bagaimana kak Mia menulis cerita Adis dan semua karakter di sini. Bagaimana akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari, bagaimana akhirnya mereka berdamai dengan masalah-masalah mereka, dan aku penasaran dengan kelanjutan ceritanya! Ditunggu banget cerita bagian keduanya (kalau aku nggak salah, seharusnya ada sih. Soalnya ada tulisan Begining di judulnya).


From the Book...
"Gue belajar banyak hal dari kepergian bokap. Gue lebih menghargai hal-hal kecil yang selama ini luput dari perhatian. Kadang kita baru merasa sesuatu itu berharga saat sudah kehilangan." P. 163

No comments:

Post a Comment