Friday, June 21, 2024

[REVIEW] Under The Kitchen Table

 

Under The Kitchen Table

Desy Miladiana

Gramedia Pustaka Utama

328 Halaman

"Menangis itu bukan aib, Kak Dewa. Dengan menangis kan artinya kamu punya perasaan, jadi wajar kalau laki-laki menangis."

 

Friday, June 7, 2024

[REVIEW] Mel, Melatiku

Mel, Melatiku
Ken Terate
Gramedia Pustaka Utama
384 Halaman

“Lebih baik kehilangan sebagian masa remajamu, daripada kehilangan seluruh masa depanmu. Percayalah sama Bunda.”


B L U R B

Mel, atlet renang cemerlang. Suatu hari ia jatuh cinta pada cowok yang salah. Salah satu fotonya yang “tak pantas” tersebar, menghancurkan segalanya dalam semalam; prestasi, nama baik, keluarga, persahabatan. Mel dikeluarkan dari sekolah, dipecat dari klub, disingkirkan oleh teman-temannya.

Mel depresi. Pertemuannya kembali dengan Ega mengguncang dunia murungnya. Ega juga punya catatan kelam. Ia memaksa Mel keluar dari cangkang gelap, meski Mel takut. Namun, akankah reputasi Mel yang sudah tercabik bisa utuh kembali? Apakah Ega bisa menerima Mel yang pernah tercela? Mungkinkah Mel melompat dan berenang lagi untuk menemukan cinta yang sempat pergi?

- - - - - - - - -

Kehidupan Mel awalnya baik-baik saja, walaupun sedikit membosankan. Apalagi rutinitasnya yang lebih banyak latihan di kolam menjelang lomba, belum lagi ibunya yang kadang berulang kali mengingatkan hal-hal yang sudah dihafalnya di luar kepala. Sampai akhirnya dia bertemu dan berkenalan dengan Axel.
"Berhentilah berpikir bumi berputar mengelilingimu, Mel.” — P. 240
Axel, si anak pindahan yang pertemuannya tidak disengaja. Berawal dari ujian susulan bersama, hingga akhirnya mereka dekat.

Kedekatan mereka sebenarnya ditentang oleh Tantri—sahabat Mel yang dulunya juga pernah jatuh hati pada Axel karna kegantengannya. Sayangnya, Mel berkali-kali juga terjebak pada pesona Axel. Berulang kali lepas dari Axel, berulang kali juga dia kembali. Sampai akhirnya, foto "tak pantas"nya tersebar. Membuat semuanya kacau dan Mel kehilangan kepercayaan dirinya.

Ketika Ega menemukannya, Mel merasa takut. Takut masa lalunya kembali terbongkar. Mel dengan foto yang tak pantas. Bisakah Ega membuat Mel perlahan lepas dari traumanya? Mengingat Ega juga punya catatan buruk yang kurang lebih mirip dengan Mel?


Kembali membaca tulisan kak Ken Terate rasanya kembali ke masa-masa sekolah lagi. Masa-masa bolos bareng temen-temen itu hal yang menyenangkan, pulang sekolah jalan ke mall, dan tentu aja, cinta-cintaan sama lawan jenis.

Kali ini dengan kisah Mel-Axel, pasangan yang cukup banyak tarik ulur dan perdebatan yang menurutku nggak penting. Apalagi untuk cewek sepintar Mel. Meladeni Axel hanyalah menambah masalah baru.

Awal membaca kisah Mel, aku cukup yakin dia ini anak yang pintar, dia juga atlet renang yang dibanggakan orang tua dan sekolahnya. Jadi ya, dia nggak mudah dikadalin sama cowok lah kasarnya. Meskipun dia dididik sama mamanya yang cukup berat, karena dia atlet juga. Kayaknya mamanya juga sedikit ada obsesi jadi atlet ya, karena dari awal dia selalu menekankan untuk jadi yang terbaik, padahal Mel juga sudah melakukan yang terbaik yang dia bisa.

Sayangnya, Mel terjebak dengan pesona Axel yang cukup manipulatif. Ya ampun, sejak awal Axel chatingan sama Mel dengan segala ke-typo-annya aja udah bikin ilfeel! Nggak cuma itu, sejak awal, Axel ini sudah menunjukkan red flag-nya. Mulai dari nggak begitu suportif pas Mel lomba, kadang suka seenaknya sendiri, suka ngilangan. Kayaknya Axel lebih cewek ketimbang Mel deh.

Seperti biasanya, novel Kak Ken selalu punya pesan moral untuk remaja, apalagi cewek. Seringkali, kita para cewek ini terbuai sama omongan cowok yang kita percaya dan kita sayang. Jadi kita mau melakukan hal yang seharusnya nggak kita lakukan. Tapi di kasus ini, Mel sudah menolak apa yang diminta oleh Axel. Bahkan tindakan Axel juga nggak dibenarkan oleh Mel. Tapi lagi-lagi, kalau sampai ada kasus foto tak pantas yang tersebar, baik disengaja atau enggak, yang dirugikan, dicaci maki, tetaplah si cewek.

Jadi cewek memang nggak gampang, sudah jadi korban, tetap disalahkan. Mel jadi merugi, udah nggak bisa ikut kompetisi, keluar dari sekolah, depresi pula! Aku cukup senang ketika Mel akhirnya bisa berdamai dengan situasi itu. Ketika Mel keluar dari 'cangkang'nya, aku juga ikutan seneng sekaligus lega. Karena paham sekali rasanya pasti nggak nyaman dan terlalu banyak pemikiran tentang penilaian orang lain.

Nggak hanya tentang kenakalan remaja, tapi Kak Ken juga menyelipkan kisah tentang keluarga. Bagaimana keluarga Mel, bagaimana sikap Ibunya yang cukup kompetitif dan selalu membahas tentang pentingnya sebuah lomba, dan kemenangan. Bagaimana keluarga Ega yang ternyata cukup berbeda dengan keluarga Mel. Masalah remaja lainnya tentang pembullyan juga diselipkan di sini. 

Aku suka dengan penyelesaian masalah yang cukup berani dari Mel dan juga korban lainnya. Tidak mudah, tapi langlah yang mereka ambil bisa menjadi contoh. Mungkin korban di luar sana juga tidak selalu memiliki keberanian sebesar Mel, atau dorongan dari lingkungannya seperti Mel. Semoga setelah ini, akan lebih banyak lagi orang yang peka terhadap hal-hal yang dialami Mel.

Tokoh favoritku di sini adalah Bulik Esti. Menurutku dia ini sangat open minded dengan masalah yang dihadapi Mel. Mel melakukan kesalahan, tapi dia nggak semata-mata ngejudge gitu aja. Malahan Bulik Esti yang membantu dia keluar dari pertanyaan keluarganya. Papanya Mel juga salah satu favoritku. Awalnya aku cukup kesel sih, karena dia kebanyakan diem aja. Mamanya marah-marah, nggak menengahi, atau ngebela gitu. Tapi di saat yang tepat, papanya bisa jadi papa yang baikkkk dan suportif sebagai suami juga.

Last, pesanku untuk para cewek baik yang masih remaja atau sudah dewasa, jangan sampai terlena sama omongan manis cowok ya. Kadang omongan manis mereka itu cuma untuk mendapatkan apa yang mereka mau aja. Jaga diri baik-baik!


From the book...
"Orangtua, sebaik apa pun, tetap saja orangtua. Mereka tidak akan pernah menjadi teman.” — P. 51

“Kalau komitmen itu membuatmu mengingkari hati nuranimu, itu namanya kemunafikan. Kapan kita bersenang-senang kalau begitu?” — P. 61

“Asal dia nggak kayak gitu lagi. Ingat, minta maaf itu sama dengan menyesal dan nggak mengulangi. Kalau ngulangin, itu namanya doyan.” — P. 85

“Lebih baik kehilangan sebagian masa remajamu daripada kehilangan seluruh masa depanmu. Percayalah sama Bunda.” — P. 88

“Yang penting adalah kamu. Kamulah yang paling tahu mengenai dirimu, apa yang kamu rasakan, apa yang kamu inginkan. Selama kamu bisa berdamai dengan ini semua… itulah yang penting.” — P. 209

“Kamu juga bisa mati kalau jatuh. Tapi risiko itu patut ditempuh agar kamu bisa menikmati enaknya berjalan. Aku akan memastikan kamu tidak tenggelam.” — P. 250

“Kami semua tujuh belas tahun, sudah punya KTP, sudah bisa memilih presiden, tetapi tak ada yang memandang kami sebagai manusia utuh. Keinginan kami tidak penting, keputusan kami pasti tidak bijak, dan kami tak mengerti apa-apa. Kami diharapkan untuk mengambil jalan yang sudah mereka rancang; sekolah, kuliah, kerja.” — P. 259

“Mel, kalau bisa, Papa juga tinggal di rumah saja, nggak masuk kerja, atau pindah kantor. Tapi nggak bisa gitu. Hidup terus berjalan dan kamu harus melakukan apa yang harus kamu lakukan, meski berat.” — P. 270

They were young. And aren’t we all fools when we were young? Itu satu-satunya kesempatan kita buat berkonyol-konyol. Aku dulu juga. Bukannya aku mendorongmu untuk itu. Aku cuma bilang, itu semua akan berlalu dan nggak akan berdampam apa-apa buat dirimu begitu kamu mau bangkit.” — P. 279

“Kita semua melakukan kesalahan, Mel, dan semua kesalahan akan dimaafkan asalkan kamu punya sisi baik yang lain.” — P. 279

“Menulis itu satu hal, tetapi menerbitkan media cetak itu hal lain. Aku nggak ngerti manajemen. Aku hanya punya semangat, tapi nggak punya kemampuan. Modalku nggak balik, malah akhirnya berutang.” — P. 285

“Setiap orang punya sisi gelap, Mel. Semua orang punya pikiran-pikiran sendiri yang rumit dan tak akan pernah dimengerti orang lain.” — P. 288

“Semua akan baik-baik saja. Jangan pernah berpikir hidupmu sudah berakhir karena hidupmu sangat berarti. Kamu berarti, minimal untuk keluargamu. Dan Serena. Dan aku.” — P. 295

“Tapi semua akan berlalu. Pada akhirnya. Suatu hari kamu akan bangun dan tak akan sakit lagi. Percayalah padaku. Aku pernah mengalaminya.” — P. 312

“Hei, kenapa orang menggurat celana jins mereka? Atau membuat perabot rustic? Karena yang rusak pun bisa jadi cantik, Mel.” — P. 337

Jangan biarkan itu mendefinisikan dirimu. Beberapa atlet pernah terlibat skandal, kasus doping, atau apalah, tetapi mereka bisa kembali dengan prestasi luar biasa. Semua orang pernah berbuat salah, tapi kesalahan itu hanya bagian kecil diri mereka, kan?” — P. 361

“Jalanan terbentang di depan kami. Seperti masa depanku. Masa depannya. Terkadang akan ada batu, atau orang sinting yang nyelonong sembarangan, tapi kami bisa menghadapinya. Aku pernah kehilangan, tetapi saat ini, sungguh aku memiliki segalanya.” — P. 381