Friday, June 21, 2024

[REVIEW] Under The Kitchen Table

 

Under The Kitchen Table

Desy Miladiana

Gramedia Pustaka Utama

328 Halaman

"Menangis itu bukan aib, Kak Dewa. Dengan menangis kan artinya kamu punya perasaan, jadi wajar kalau laki-laki menangis."

 
B L U R B
 
Celebrity Chef, Sadewa Hartanto, memergoki istrinya berselingkuh di dapur apartemen mereka. Karena terikat kontrak pekerjaan, dia tidak bisa mengajukan perceraian. Dewa pun dianjurkan menyepi ke Bali untuk menenangkan diri di Sutar, vila keluarga mereka. Namun, vila tersebut sudah ditempati Arkadewi, sahabat adik Dewa. Wanita itu juga sedang memulihkan hati dari perceraian sebulan lalu.
 
Ketertarikan yang sama di dunia kuliner pun membangkitkan kenangan masa remaja mereka. Dengan dalih sama-sama ingin menyembuhkan luka, mereka seakan menutup kenyataan bahwa Dewa masih terikat pernikahan. Keadaan mulai kacau saat akun gosip mengunggah momen pribadi mereka. Dewi dituduh menjadi perusak rumah tangga Dewa. Bahkan wanita itu sampai dikerubungi wartawan di restoran tempatnya bekerja.
 
Satu-satunya cara untuk keluar dari situasi rumit ini adalah Dewa kembali ke Jakarta, ke pelukan istrinya. Namun, bagaimana bisa dia pergi saat hatinya telah terikat pada Ubud dan juga sosok Dewi?
 
- - - - - - - - - 
 
Baru saja menikah dan menemukan fakta jelas bahwa istrinya berselingkuh di tempat yang sangat dicintainya, tentu aja menjadi pukulan telak untuk Dewa. Lagian, alasan apa istrinya berselingkuh, dia selalu berusaha untuk memprioritaskan istrinya. Berusaha meredam amarahnya tentu bukan solusi. Bercerai adalah solusi yang dia inginkan. Tapi gimana dengan reputasinya?
"Jangan sedih lagi. Dikhianati memang mengerikan. Wajar kalau hal itu membuatmu malas ke dapur bahkan memasak. Tapi, kamu itu chef, Kak. Ini duniamu. Cepat atau lambat kamu harus bangkit dan menghadapi tempat ini kembali. Someday I want you to cook for me."
Keputusan Dewa untuk pergi meredam emosinya ke Bali sepertinya keputusan yang baik, di sana dia tidak hanya bernostalgia dengan restoran keluarganya, tapi juga bertemu dengan Dewi, sahabat adiknya yang ternyata menginap di vila keluarganya.

Awalnya, Dewa merasa sedikit terganggu dengan Dewi dan anaknya yang masih bayi. Harapannya, di Bali dia memiliki masa tenang, tidak ada gangguan. Tapi lama-lama, dia juga terbiasa dengan kehadiran Dewi, aktivitas dan interaksi yang terjadi. Hal ini juga menjadi kebimbangannya untuk kembali ke Jakarta. Bagaimana kalau dia menetap saja di sini bersama Dewi?
 
 
Membaca kisah Dewa, mengingatkan aku sama salah satu chef yang omongannya setajam silet, Chef Juna. Siapa sih yang nggak tau dia? Udah kalo ngomong tajem, gayanya sok sengak. Tapi nggak tau kenapa, dia ini punya kharisma yang keren aja menurutku.

Waktu awal membaca Under the Kitchen Table ini aku cukup shock. Adegan perselingkuhan sudah ada di bab awalnya. Apalagi mengusung pekerjaan di bidang entertainment. Udah nggak kaget aja kalau di sana ada perselingkuhan, kan? Hal ini tuh banyak banget lah alesannya, mulai dari awalnya cuma temen tapi lama-lama demen, pasangan yang nggak selalu ada, sampai cinta lokasi karena keseringan ketemu. Seharusnya itu bukan alasan sih menurutku. Aku nggak pernah menormalisasi perselingkuhan, untuk alasan apapun.

Nggak hanya mengusung tentang kehidupan selebriti chef aja, tapi kak Desy juga memasukkan Bali dan beberapa tips dan trik memasak, cara memasak yang benar. Bener-bener dibikin ngiler selama ngebaca karya kak Desy yang satu ini.

Selain membahas tentang dunia masak, dunia entertainment, di sini juga cukup banyak dibahas tentang gimana kerasnya hidup. Kadang, apa yang kita harapkan, belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Seringnya kenyataan lebih pahit ketimbang bayangan kita. Di balik kehidupan Dewi yang terlihat menyenangkan dan mudah, ternyata cukup melelahkan. Apalagi dia juga berprofesi sebagai chef dan juga seorang ibu tunggal.

Sewaktu baca, jujur aku cukup kesel sama Dewa, karena dia lebih mentingin gimana kehidupan Dewi. Padahal, kehidupan dia sendiri juga berantakan. Belum lagi karena ketenarannya, bisa membahayakan Dewi, anaknya dan bahkan reputasinya Dewi sendiri. Tapi aku cukup salut dengan caranya mengambil keputusan di akhir. Emang bener kayaknya, cewek itu harus dicintai cowok dengan ugal-ugalan. Soalnya, kalo dicintai dengan brutal itu menyenangkan banget!


From the book...
"Nggak ada yang berlebihan buat anak, Bu. Wajar. Setiap ibu pasti khawatir kalau tahu anaknya sakit."

"Algoritma hati itu sangat berbeda dengan algoritma otak, Kak Dewa. Kalau sudah jatuh cinta, segala tipe yang sudah kita patenkan dalam kepala mendadak hilang. Makanya banyak orang bilang kalau cinta itu nggak perlu dipikirkan, tapi dirasakan."

"Hidup kan nggak pernah benar-benar bahagia, Kak Dewa. Maksud saya, fase bahagia dalam hidup cenderung jauh lebih singkat karena banyak sedihnya. Apalagi kalau berhubungan dengan cinta atau orang yang kita sayang."

"Menangis itu bukan aib, Kak Dewa. Dengan menangis kan artinya kamu punya perasaan, jadi wajar kalau laki-laki menangis."

"Jangan sedih lagi. Dikhianati memang mengerikan. Wajar kalau hal itu membuatmu malas ke dapur bahkan memasak. Tapi, kamu itu chef, Kak. Ini duniamu. Cepat atau lambat kamu harus bangkit dan menghadapi tempat ini kembali. Someday I want you to cook for me."

"Kamu benar. Ketika title saya sudah sebagai public figure, hidup saya sudah milik publik. Keputusan apa pun yang diambil, pasti saya pikirkan matang-matang. Saya takut keputusan itu merugikan banyak pihak, apalagi sampai dicap memberi contoh buruk untuk khalayak ramai. Yang seperti itu membuat saya lelah, Wi."

"Janjimu terlalu berisiko, Kak Dewa. Sesuatu yang berisiko harus dibarengi dengan modal yang besar. Kita nggak punya modal untuk melakukan ini karena hanya saya yang menyukaimu. Saya nggak mau terbang sendirian, Kak. Karena janji itu nggak punya kepastian bahwa kamu juga punya rasa yang sama."

"Siapa sih, Kak, yang mau pernikahannya gagal apalagi sampai berakhir jadi single mom kayak sekarang? Cuma ya, aku belajar banyak dari kegagalanku. Hubungan yang berjalan karena dipaksa sering kali berakhir nggak baik. Itulah kenapa Pradipa selingkuh dan aku nggak pernah bisa seratus persen membuka hati padanya."

"Kadang bicara jujur itu kayak lagi pegang belati kecil dan nggak kasatmata. Sekali berucap, tahu-tahu belati itu udah menusuk orang lain. Darahnya nggak kelihatan sih, tapi sakit hatinya terasa. Kehebatan yang mengerikan dari sebuah perkataan kan, Kak?"

"Selama menyukai pekerjaan lo, maka lo bakal menikmatinya. Selelah apapun itu, lo tetep akan melakukannya dengan ikhlas."

No comments:

Post a Comment