Wednesday, January 25, 2023

[REVIEW] Nun Mati

Nun Mati

Tian Topandi

Falcon Publishing

337 Halaman

"Kata Bapak, dendam itu bukan menyakiti orang lain, tetapi membunuh diri sendiri."


B L U R B

Sejak ditugaskan menumpas gerakan Darul Islam di Ciamis, bati dan pikiran Mim cukup tersiksa. Di tengah perang antarsaudara itu, Mim justru menemukan serangkaian misteri. Salah satunya kehadiran Nun–perempuan setengah waras anak kepala dusun.

Suami Nun menjadi korban idealisme pembentukan Negara Islam oleh Kartosoewirjo ini. Namun, Mim berpikir perempuan ini hanya berpura-pura gila dan justru menjadi kunci dari semua kericuhan. Bagaimana Mim membuktikan bahwa Nun bukanlah perempuan gila seperti yang dipercaya orang-orang kampung?

Setelah beberapa kali insiden penyerangan, Mim menemukan ada musuh dalam selimut–ada warga yang menjadi pendukung para gerombolan. Bersama Nun, mampukah Mim membuktikan sebaliknya dan menumpas kelompok DI/TII sebelum makin banyak korban berjatuhan?

- - - - - - - - - - -

Nun, seorang janda yang setengah gila dari Desa Bangbayang. Seisi desa tentu saja membicarakannya. Mulai dari kasihan karena dia yang ditinggal suaminya, tingkahnya yang aneh, bicara seperlunya, dan seringkali muncul dan tiba-tiba menghilang! Bahkan ayahnya sendiri sudah lelah dengan omongan tetangga yang tidak ada habisnya, dia malu karena Nun yang terus berkelakuan aneh semenjak suaminya tiada.
"Pria selalu punya firasat yang baik untuk menjadikan seorang perempuan sebagai istri."
Mim, seorang tentara yang memiliki empati dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Meskipun dia harus menumpas para 'gerombolan' yang berlawanan keyakinan, tapi dia juga tetap berusaha meminimalisir pembunuhan. Hal inilah yang membuat dia menjadi tentara yang tidak begitu disukai warga Bangbayang.

Kalau untuk warga Bangbayang Nun adalah orang gila dengan segala ketidakwarasannya, menurut Mim, dia adalah orang yang memiliki banyak rahasia. Mungkin salah satunya rahasia tentang para 'gerombolan' yang ada di Gunung Syawal, dekat desa Bangbayang. Tapi bagaimana cara mendekati Nun, kalau dia sendiri menjaga jarak dan menjauhi Mim?


Buku ini adalah buku pemenang novel juara ketiga dari lomba yang diadakan oleh Falcon Publishing. Awalnya, aku mengira novel ini bakalan religius sekali. Karena membahas dari sisi agama Islam, dan juga DI/TII. But, let me tell you first..

Mengambil latar waktu di tahun 1960an, dan latar tempat di bawah kaki gunung yang cukup terkenal. Ngeri-ngeri sedap nggak sih? Mana di Gunung Syawal itu tinggal para 'gerombolan' DI/TII. Nggak cuma itu aja, selain itu, ada kepercayaan masyarakat yang kadang tuh bikin kesel sendiri. Omongan yang nggak ada habisnya dan bikin kuping panas!

Awalnya, aku juga mengira kayak.. emang beneran ya, Nun itu ODGJ? Atau dia cuma pura-pura aja, supaya dia terlindungi, nggak sakit hati atau nggak diganggu. Bahkan aku sempat ngira, ini tuh novel yang agak mistis gitu. Ternyata enggak! Banyak ajaran agama dan kehidupan yang diselipkan. Bikin aku tuh jadi mikir lagi, oh, bener juga ya. Oh seharusnya begini ya.

Yang aku paling suka tuh si Mim. Ya ampun, bener-bener ya Mim ini. Selain dia ini punya empati dan rasa kemanusiaan yang tinggi, dia ini nggak mudah terpengaruh. Jadi dia berusaha mencari jawaban sendiri atas pertanyaan yang muncul di kepalanya. Mana instingnya dia ini cukup kuat dan mostly bener. Keren parah!

Selama baca novel ini, aku suka ngikutin cara berpikirnya Mim, berasa main detektif-detektifan sama dia. Apalagi pas adegan tembak-tembakan, duh, berasa kayak nonton drama atau film action! Aaahh.. Kak Tian keren bangetttt..

Selain membahas tentang agama, di sini juga banyak dijelaskan tentang nilai-nilai kehidupan. Bagaimana seharusnya hidup menurut agama, terus jadi manusia tuh nggak boleh patah semangat, nggak boleh sampe kehilangan arah, apalagi kehilangan pikiran. Hiduplah sebaik mungkin.


From this book...
"Kata Bapak, dendam itu bukan menyakiti orang lain, tetapi membunuh diri sendiri. Cara terbaik membalas orang yang merugikanmu adalah dengan mengikhlaskannya." P. 174

"Musuh yang sebenarnya adalah diri kita sendiri. Jika kita lebih mementingkan kepala daripada hati, maka kita hanya bisa mengikuti dunia yang banyak cacat." P. 280

"Siapa pun yang telah direnggut oleh kematian, pastinya mengundang air mata dan kehilangan. Bukan hanya hilang nyawa, tetapi hilang harapan dan impian." P. 304

"Mau janda atau gadis, pernikahan itu harus dibangun di atas kepercayaan. Jika hatimu sudah berbicara, maka ikuti saja kata hatimu, Mim." P. 307

No comments:

Post a Comment