Sunday, July 23, 2023

[REVIEW] Pengantin Remaja

Pengantin Remaja

Ken Terate

Gramedia Pustaka Utama

384 Halaman

"Kesalahan. Siapa yang tidak pernah melakukannya? Yang membedakan hanyalah apakah kita belajar dari kesalahan itu atau tidak.


B L U R B

Pipit yang kepincut cinta akhirnya mengangguk tersipu ketika seorang pria tampan memintanya untuk menikahinya. Pipit hanya siswa sekolah menengah, tetapi dengan senang hati ia berhenti sekolah untuk menjalani kehidupan yang indah bersama pria yang dicintainya.

"Cinta adalah soal hati, bukan usia." Bukankah ada lagu yang bilang begitu? Pipit yakin Pongky akan menjaga, melindungi, dan memenuhi semua kebutuhannya. Kalaupun tidak, cinta pasti akan menguatkan mereka dalam kondisi apapun. Benarkah begitu?

Pipit mulai bertanya-tanya setelah bulan madu usai. Kini ia tinggal di rumah ibu mertuanya, yang tidak memiliki air mengalir tetapi terlalu banyak bersumpah, memikirkan detail kompor gas dan hal-hal kecil lainnya. Kini dunianya terbalik sudah. Apakah cinta di masa muda menyebabkan kekacauan ini? Apakah menjadi pengantin remaja berarti mimpi Pipit berakhir di situ?

- - - - - - - - 

Pipit, seorang anak tukang laundry yang lebih memilih untuk menikah saat umurnya tujuh belas tahun. Menurutnya, umur tujuh belas tahun, dia sudah punya kebebasan untuk memilih. Tidak lagi harus sekolah, mendengarkan guru di kelas. Dia bebas. Apalagi sekarang sudah ada Pongky. Laki-laki yang menurutnya cukup keren. Paling keren di antara temen-temennya.
"Nikah atau pisah? Aku cinta banget sama kamu. Aku ingin memilikimu seutuhnya. Kalau nggak bisa, mending nggak usah sekalian."
Pongky sudah melamar Pipit di bawah pohon jambu tempat favorit mereka pacaran. Tentu saja hal ini membuat Pipit semakin ingin segera mensahkan hubungan mereka. Apalagi dia udah cinta mati sama Pongky. Pernikahan akan semakin menguatkan cinta mereka.

Yang Pipit tidak tau, akan banyak masalah ke depannya, pernikahan tidak seindah yang dibayangkannya. Saat ibunya menolak habis-habisan tentang pernikahan, ayahnya malah mendukung pernikahan Pipit-Pongky 1000%! Jadi, apakah kehidupannya akan sesuai bayangannya selama ini?


Ken Terate, salah satu penulis andalanku sejak waktu aku SMP. Mulai dari Dark Love sampai Jurnal Jo, semuanya menarik banget. Jadi, karyanya sudah nggaka perlu diragukan lagi. Apalagi selalu nulis tentang kehidupan remaja gitu.

Pengantin Remaja ini, sempat rame diomongin sama bookstagram, dan katanya bikin kesel selama baca. Wah, aku kan jadi penasaran juga ya. Pas ada kesempatan, kubacalah novel ini. Hasilnya? Tentu aja kesel setengah mati!

Aku nggak tau apa yang sebenernya ada di kepala Pipit, menganggap bahwa setelah tujuh belas tuh udah bebas. Iya sih, setelah tujuh belas kan kita udah bisa dapat SIM dan KTP. Tapi apa ya sebebas itu? Kan enggak juga. Aku aja selepas kuliah baru jam malemnya nggak begitu ketat. Sebelumnya mah, jangan harap, jam sepuluh belum sampai rumah, bisa dicariin terus sama mama papa.

Meskipun menjengkelkan, aku tuh udah biasa aja. Mungkin emang hormonnya anak mau tujuh belas tuh lagi meletup-letup ya. Tapi waktu dia mutusin putus sekolah, aku agak menyayangkan sih. Omongan gurunya bener lho, saat ini, lulusan SMA itu udah nggak begitu ada harganya, yang S1 aja masih belum dapat kerja, apalagi ini yang lulusan SMA? Nggak merendahkan ya, tapi emang kenyataannya demikian. Nggak cuma itu aja, ayahnya sendiri malah mendukung hal itu. Sempat bawa-bawa agama juga! Ya ampun kesel bangettt.

Waktu Pipit ada masalah sama Pongky dan keluarganya, aku tuh pengen banget ngata-ngatain dia. Nikah nggak seenak itu kan? Nikah itu menurutku perlu banyak persiapan, mau langsung punya anak apa enggak, tetep perlu persiapan. Mental sama finansial. Nikah kalo belum ada rumah sendiri kan mau nggak mau tinggal sama orang tua, iya kalo orang tuanya sendiri, kalo mertua? Kalo nggak cocok gimana? Finansial juga, ini menurutku cukup krusial sih. Perkara uang itu nggak pernah mudah. Selalu jadi dilema dan bikin huru-hara.

Selama baca jujur aja aku tuh keseeelll banget. Di rumahnya Pipit nih, yang waras cuma ibunya sama Atin sepupunya. Di rumah Pongky malah lebih parah. Nggak ada yang waras. Gendeng semua. Keluarganya Pongky ini sebenernya toxic banget lho. Ibu mertua yang seenaknya sendiri, adik-adiknya Pongky juga sama. Pongkynya sendiri? Hadeh, cowok macem dia ini mending dibuang aja. Nggak ada gunanya.

Aku suka dengan tema yang diangkat, pernikahan dini. Kalau aku nggak salah, sejak covid itu, banyak sekali anak sekolah yang bahkan belum tujuh belas tahun, sudah menikah. Apalagi yang tinggal di daerah pedesaan gitu. Jadi ini bacaan yang bagus. Lebih membuka mata, bahwa kehidupan pernikahan itu nggak seindah yang pernah kita bayangkan, akan ada banyak masalah, banyak perdebatan, belum lagi menerima dan menghargai pasangan kita.


From the book...
"Pit, nikah bisa ditunda. Tapi ijazah sulit didapat kalau kamu telanjur berhenti sekolah. Padahal itu sangat penting. Jadi pelayan toko aja sekarang kudu setor ijazah SMA. Sarjana juga banyak yang nganggur. Mau jadi apa kalau nggak punya ijazah?"

"Tau nggak, itu tuh kayak cimeng. Sekali ngerasain, kamu pengin lagi,  kalau bisa sehari dua kali. Lah, gimana kalau cowokmu pengin terus? Gimana kalau tekdung? Emang dia mau tanggung jawab, gitu? Cowok kan maunya enak aja, mana mau susah-susah nafkahin anak orang?"

"Nikah atau pisah? Aku cinta banget sama kamu. Aku ingin memilikimu seutuhnya. Kalau nggak bisa, mending nggak usah sekalian."

"Belajar, Pit. Kamu sudah menikah. Nggak bisa kayak dulu lagi. Perlu lebih banyak sabar. Lebih rajin. Lebih kuat. Lebih tahan banting. Hidupmu bukan untukmu lagi. Saat menikah, kamu nggak hanya menikahi satu orang. Tapi menikahi seluruh keluarganya. Keluarga besar malah."

"Dengar, jangan pernah menggantungkan kebahagiaanmu pada orang lain. Andalkan dirimu sendiri. Kalau lo pengin punya duit banyak, cari sendiri. Jangan nunggu duit dari orang. Kalau elo pengin ke Dufan, berangkat sendiri. Jangan nunggu ada yang ngajak. Kalau lo pengin merdeka, jangan nunggu dikasih sama orang. Merdekakan dirimu sendiri."

"Kesalahan. Siapa yang tidak pernah melakukannya? Yang membedakan hanyalah apakah kita belajar dari kesalahan itu atau tidak. Aku mungkin gagal sebagai pengantin remaja (kebanyakan gagal, kini aku tahu), tetapi aku memilih untuk belajar dan akhirnya, hari ini, tanpa menunggu orang lain untuk memberi, aku bisa menciptakan kebahagiaanku sendiri."

No comments:

Post a Comment