Tuesday, November 14, 2023

[REVIEW] Dinda untuk Geri

Dinda untuk Geri

Erisca Febriani

197 Halaman

"Pernikahan itu kan bukan ketemu di titik sempurnanya doang, kan? Tapi gimana ketika kita sadar bahwa pasangan kita emang banyak kurangnya, terus kita berusaha menerima dan berdamai karena realita emang enggak sesuai sama ekspektasi semua orang."


B L U R B

Selama ratusan tahun kita selalu dibombardir dengan kalimat bahwa cinta adalah sesuatu yang hebat, sesuatu yang membuat jantung kita berdebar-debar seperti ada sekumpulan kupu-kupu merayap di perutmu.

Bahkan dari melihat hal kecil yang dia lakukan, entah itu tersenyum, merengut jengkel, merajuk, atau bahkan marah karena hal-hal sepele. Dari setiap buku, film, karya sastra, teatrikal dari zaman Yunani sampai hari ini, kita selalu dibuat percaya bahwa pernikahan berarti akhir bahagia dari sebuah cerita.

Padahal kenyataannya? Tidak. Pernikahan bisa jadi adalah gerbang dari masalah yang sebelumnya tidak pernah terbayang di kepalamu.

Karya sastra, film, teatrikal, atau lagu tidak pernah menunjukkan bagian itu. Mereka meliarkan fantasi kita akan cinta dan pasangan.

Kali ini kisah cinta Dinda dan Geri berlanjut lagi, kini musuh mereka justru datangnya dari masa lalu mereka masing-masing.

- - - - - - - - -

Dinda dan Geri sudah memasuki dunia baru, mereka bukan lagi remaja yang menikmati kehidupan mereka berdua masing-masing, tapi mereka sudah memulai untuk memasuki dunia rumah tangga. Kehidupan mereka masih baik-baik saja, Geri dengan perusahaan gamingnya, Dinda yang masih dengan kegiatan salonnya, meskipun dia sudah mengurangi hal ini karena saat ini dia sedang hamil.
"Bagaimana mungkin ada orang tua setega itu dengan anaknya? Bukannya mereka yang melahirkan manusia-manusia tanpa dosa itu lahir ke dunia?" P. 24
Karena Dinda sedang hamil, dia sering menghabiskan waktu di rumah, karena inilah, dia jadi cukup dekat dengan salah satu anak tetangganya, Yuri. Sayangnya, karena satu kejadian, Dinda kehilangan Yuri. Sangat-sangat kehilangan, sampai Dinda merasa bersalah. Hal ini cukup berdampak pada sikap Dinda dan berujung Dinda kehilangan dirinya sendiri. Apa yang harus dilakukannya? Bagaimana caranya mengembalikan dirinya?



Kali ini, mari kita ikutin dunia Geri dan Dinda di babak yang lebih tinggi. Hubungan rumah tangga. Pasti banyak yang mikir, kalo kehidupan rumah tangga itu lebih seru, karena semuamuanya bareng sama doi, nggak bakalan jauh lagi, tapi ternyata nggak seindah itu.

Dinda dan Geri juga sama. Mereka pikir, setelah ujian yang cukup berat dulu, semuanya terasa lebih mudah. Toh mereka juga sudah lebih dewasa, lebih mengerti dan memahami satu sama lainnya. Tapi namanya kenyataan, nggak selalu sesuai dengan yang kita mau kan? Masalah kali ini, muncul dari masa lalu. Bukan tentang pacar, atau mantan pacar, tapi dia yang pernah ditinggalkan.

Pas baca di awal, aku bertanya-tanya, masalah apa ya yang akan dibahas kak Erisca? Karena yang aku tau, Dinda sudah cukup bahagia di 'Kisah untuk Dinda', dan di sana juga diceritakan Geri yang sudah berhasil kan? Lalu, apa yang dibahas di sini? Tapi malah ini jadi heartwarming buatku, dari halaman awal sampai akhir, bener-bener menyentuh, apalagi di bagian akhir banyak banget pesan-pesan dari Mamanya Dinda.

Nah, yang cukup bikin aku amaze, kak Erisca menuliskan tentang sosok lain yang ditinggalkan Dinda. Apa yang membentuk Dinda yang sekarang, kenapa dia kadang bisa kesel kalo ditinggal sama Geri, dibahas juga tentang kehidupan lingkungan sekitar Dinda yang nggak baik-baik aja, mulai dari kejadian Yuri yang cukup tragis, sampai Dinda yang mulai kehilangan dirinya sendiri.

Aku suka cara kak Erisca menuliskan Dinda-Geri, bagaimana mereka lebih lebih lagi memahami diri mereka masing-masing, meskipun di awal aku kesel banget sama Geri yang menurutku cuek dan agak nggak berperasaan sama Yuri.
 
Selain tentang kehilangan, di sini juga banyak dimasukkan tentang kesehatan mental, emang sebaiknya, sebelum punya anak atau bahkan sebelum kita memulai hubungan baru dengan orang lain, lebih baik kita selesai dengan diri sendiri. Dampaknya ke orang lain ini kerasa sekali lho, apalagi ke anak. Seringnya, orang tua lupa, bahwa anak nggak seharusnya ikut menanggung emosi orang tua. Nggak banyak juga orang tua yang paham, kalau mereka salah karena pengajaran di masa mereka kecil juga itu. Padahal, semakin berkembangnya jaman, kita juga harus ikutan update, biar nggak di situ-situ aja.



From the book...
"Kita memang tidak pernah tahu perasaan seseorang jika kita pernah mengalaminya." P. 77

"Pernikahan itu kan bukan ketemu di titik sempurnanya doang, kan? Tapi gimana ketika kita sadar bahwa pasangan kita emang banyak kurangnya, terus kita berusaha menerima dan berdamai karena realita emang enggak sesuai sama ekspektasi semua orang." P. 102

"Banyak, dia bisa mudah ke-trigger karena hal-hal kecil, mungkin bagi kita itu hal sepele yang enggak seharusnya dia bereaksi berlebihan tapi karena alam bawah sadarnya menganggap itu sebuah trauma sehingga bisa menjadi pemicu emosinya." P. 105

"Things I will tell to my daughter at 15, kamu enggak bertanggungjawab atas perasaan orang lain ... kamu enggak bertanggungjawab bikin orang senang, karena itu di luar kendalimu. Kalau ada yang begitu ke kamu, jauh-jauhin deh." P. 159

"Ketika kamu jadi seorang ibu, Mama cuma berpesan ke kamu untuk kamu enggak harus simpan semuanya sendirian. Kalau kamu lagi enggak baik-baik aja, tolong bilang ke anakmu, ke suamimu. Kamu enggak harus sempurna kok, karena kadang-kadang jadi seorang ibu bisa buat kamu lupa sama jati dirimu sendiri." P. 165

"Geri anakku, maaf ya kalau Mama harus tulis surat. Mama tulis ini supaya kamu enggak lupa dan selalu ingat pesan dari Mama. Kalau kelak dia melahirkan, tolong jangan lupakan dia ya. Pengalaman waktu Mama melahirkan Dinda, semua orang terfokus sama Dinda. Mama seolah dilupakan, enggak ada yang mengucapkan selamat ke Mama karena sudah berjuang, semua orang hanya memuji betapa lucunya Dinda. Kamu sebagai suami, tolong peluk dia, besarkan hatinya, ucapkan terima kasih atas perjuangannya." P. 193

No comments:

Post a Comment