Lara Rasa
Nureesh Vhalega
Elex Media Komputindo
224 Halaman
"Ya, penerimaan. Bukan memaafkan, berdamai, atau menyembuhkan luka. Jawabannya adalah... aku harus belajar menerima."
B L U R B
Di usia 28 tahun, Alara masih belum punya pekerjaan tetap, kondisi finansialnya memprihatinkan, dan target memiliki rumah sekaligus menikah sebelum berumut 30 terasa kian jauh dari jangkauan. Parahnya, dia justru membuat keputusan-keputusan salah dan memperumit hidupnya sendiri. Mulai dari bekerja di perusahaan rintisan yang membuatnya seakan kerja rodi, terlibat dalam drama percintaan yang videonya viral, sampai bertengkar hebat dengan orangtua.
Alara harus mengurai permasalahannya dan mencari solusi agar hidupnya kembali berjalan normal. Dan, di atas segalanya, agar target hidupnya tercapai.
- - - - - - - -
Alara sudah menargetkan hidupnya, bahwa dia akan menikah sebelum berumur tiga puluh tahun, memiliki pekerjaan tetap, dan punya rumah sendiri. Dia sudah muak hidup dengan kedua orangtuanya. Sayangnya, sampai di umur dua puluh delapan, Alara masih tinggal dengan orangtuanya, dan baru saja pindah ke kantor barunya. Tabungan untuk punya rumah? Jangan harap. Masih perlu menabung sampai puluhan tahun ke depan untuk membeli rumah.
Kantor barunya, tidak senyaman dan semenyenangkan kantor lamanya. Pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh tiga sampai empat orang, di sini hanya Lara yang mengerjakan. Dia sudah nggak betah, tapi apa mau di kata? Dia masih harus melanjutkan tabungan untuk impiannya.
"Lihat sisi bagusnya, Al. Lo sekarang kerja di startup yang berhubungan sama banyak artis. Siapa tahu ketemu jodoh pas ngurus proyek nanti."
Ngomongin jodoh, Alara sampai saat ini juga masih belum menemukan sosok yang cocok untuk menemaninya. Perkawinan teman sekolahnya, membuat Alara menemukan kembali Putra. Satu-satunya laki-laki yang cukup dekat dengannya semasa sekolah.
Pendekatannya dengan Putra bisa dibilang mulus, meskipun Alara masih memiliki keraguan terhadap masa lalu hubungan Putra. Tapi sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama. Mendadak Alara dilabrak mantan pacar Putra dan membuat kehebohan saat Alara sedang launching pekerjaannya! Sudah jangan ditanya gimana malunya Alara, yang bisa dipikirkannya hanya menenggelamkan dirinya ke inti bumi.
Masalah ini berbuntut panjang sampai ke orangtuanya. Bagaimana Alara bisa mengurai dan menyelesaikan masalah ini perlahan?
Sebenernya, kalau udah menjelang kepala tiga itu, kita harus punya apa aja sih? Karier sempurna, calon pasangan atau malah pasangan hidup, rumah, dan kemapanan? Memangnya, kalau nggak punya, salah? Melenceng jauh dari harapan masyarakat? Atau gimana sih?
Membaca kisah Alara bikin aku melihat diriku sendiri. Sudah hampir dua puluh enam tahun, belum punya pekerjaan tetap, masih belum punya rumah, untungnya sudah punya pasangan. Apakah aku nggak punya impian? Punya. Aku kalo lihat linkedin-nya temenku yang jabatannya udah manajer, aku juga iri. Lah aku masih jadi staff, gaji juga gini-gini aja. Tapi kalo iri terus, ya kapan selesainya? Bisa aja jabatan mereka bagus, tapi pengetahuan dunia kerjanya nggak seluas aku kan? Jadi solusiku cuma tutup linkedin aja.
Di sini, Alara suka menyesali keputusan-keputusan yang sudah dibuatnya. Mulai dari pindah kantor, pasangan sampai orangtuanya. Kasian banget aku tuh sama Alara. Soalnya dia jadi orang yang nggak pede, takut kalo ngambil keputusan ini nanti salah, itu juga nggak sesuai sama harapannya. Udah nggak pede, giliran salah langsung kayak, "Tuh kan, emang aku tuh salah."
Alara ini sebenernya beruntung punya Tiani sebagai sepupunya. Karena dia banyak membantu Alara. Menjadi sahabat, keluarga yang bisa diandalkan, bahkan pendapatnya juga bisa dipertimbangkan lho. Kalo manusia paling ngeselin itu sebenernya Putra. Nggak tau kenapa, aku ngeliat Putra tuh aneh sejak awal. Dia jadi cowok yang too good to be true, dan kenyataannya emang bener kan? Ngeselin banget ya ampun!
Menurutku, kisah ini nggak cuma dialami Alara. Pasti banyak juga remaja tanggung lainnya yang juga merasakan hal yang serupa atau malah lebih parah. Saranku, coba diurai satu-satu. Paling penting banget adalah diri sendiri. Kamu bukan superhero yang bisa menyelamatkan semua orang. Kamu juga bukan badut yang bisa menyenangkan semua orang. Sebelum melakukan keduanya, lebih baik selamatkan dan senangkan diri sendiri dulu.
From the book...
"Al, jangan terlalu percaya sama orang. Nanti lo yang sakit akhirnya."
"Pernah nggak lo mikir, kalau yang sebenarnya lo butuhin buat ngerasa bahagia adalah berdamai sama diri sendiri? Karena dari sudut pandang gue, lo ngotot mau beli rumah cuma buat buktiin ke ortu lo kalau lo bisa. Lo mau pergi dari mereka dengan harga diri intact. kenapa harus pakai jalan berputar dan bikin hidup lo sengsara?"
"Lagi pula, seharusnya aku tahu lebih baik daripada siapa pun, menikah bukan hanya tentang hidup bersama orang yang dicintai. Namun, harus siap berkompromi. Seumur hidup. Aku tidak mau menjadi seperti orang tuaku."
"Kadang, kita lupa buat menyayangi diri sendiri karena terlalu fokus sama orang lain."
"Nggak peduli apa kata orang, jangan menyalahkan diri sendiri terlalu lama. Setiap manusia pasti pernah ngelakuin kesalahan. Karena di hari kita berhenti bikin kesalahan, berarti kita berhenti hidup."
"Sayangnya aku lupa, aku tidak bisa menolong seseorang yang tidak ingin ditolong. Tak peduli betapa besar aku menyayangi Mama, aku tidak bisa memaksanya untuk hidup mengikuti keinginanku."
"Lo nggak lagi denial, kan? Nggak bagus numpuk atau ngubur perasaan. Kalau memang masih belum oke, nggak apa-apa, Al. Nggak ada deadline buat patah hati, jadi nggak harus cepat-cepat selesai."
"Tapi mungkin lo nggak harus punya passion buat melengkapi hidup lo. Mungkin... lo cuma perlu menerima dan memaafkan diri lo sendiri. Hidup sambil terus-terusan lari dari kenyataan itu bikin capek, Al."
"Seperti yang tadi kukatakan, sekarang yang paling penting adalah berusaha untuk kembali memercayai penilaianku sendiri. Aku harus belajar untuk percaya pada diriku lagi."
"Ya, penerimaan. Bukan memaafkan, berdamai, atau menyembuhkan luka. Jawabannya adalah... aku harus belajar menerima."