Judul : Happy Ending Machine
Penulis : Adelina Ayu
Penerbit : Bhuana Sastra
Tebal : 316 Halaman
"Terkadang, jujur kepada diri sendiri kalau kita sedang bersedih adalah cara yang ampuh untuk membuat kesedihan sendiri itu pergi. Kalau kita nggak mengizinkan diri sendiri untuk merasakan kesedihan tersebut, selamanya sedih itu nggak akan pernah meninggalkan kita."
B L U R B
Kenapa cinta harus menjadi syarat "akhir bahagia" untuk seseorang?
Bagi Shailendra, cintanya hanya akan menyakiti. Jika akhir bahagia adalah sesuatu yang harus ia relakan, ia akan melepasnya meski dengan berat hati. Sampai kemudian, Candrarupa datang ke kehidupannya, menjadi cermain atas keinginannya selama ini.
Pertemuan mereka adalah takdir, tetapi apakah kebersamaannya mereka benar-benar membahagiakan keduanya? Atau justru mereka harus menempuh jalan masing-masing demi akhir yang bahagia.
- - - - - - - - -
Mari berkenalan dengan Shailendra, seringnya sih dipanggil Shaien atau Ien. Cowok pendiam, ganteng, anak pasangan dokter. Apakah dia menjadi dokter juga? Enggak. Dia memilih jurusan arsitektur. Cukup melenceng jauh ya? Tapi nggak papa, what's Shaien wants, Shaien gets. Shaien sudah terbiasa hidup sendiri, apalagi dengan orang tuanya yang berprofesi dokter pasti membuat dia sering ditinggal-tinggal. Hal ini juga nggak menyulitkan dia kok. Cuma Shaien ini orang yang terlalu baik aja. Nggak gampang buat dia menolak permintaan orang lain, meskipun itu berujung menyusahkan dia.
"Kedengarannya ngarang banget, sih. Tapi kalau nggak mikir begitu, hidup kita nanti isinya negatif melulu. Padahal kan, there are shards of beauty in darkness if you look for them." P. 71
Candrarupa, cewek nyentrik yang sering kali dikira cowok karena namanya. Memiliki kehidupan yang cukup sibuk dan cukup ekstrem karena hobinya. Iyep, Andra—panggilan Candrarupa—punya hobi yang cukup aneh, memakan hewan-hewanan misalnya. Aneh kan? Bahkan dia juga pernah membawakan untuk Zio, sahabat Shaien, sampai Zio jadi mencak-mencak. Di balik semua itu, ternyata Andra adalah anak pemilik rumah makan langganan keluarga Shaien! Ya ampun, dunia memang sempit sekali.
Tapi, bagaimana kalau kedekatan mereka ini membuat mereka sendiri nyaman terhadap satu sama lain? Akankah mereka akan bahagia? Atau malah akan tersakiti? Kenapa malah menyakiti ya?
R E V I E W
"Jangan berekspektasi tinggi sama bukunya ya kak." Aku inget banget, ini pesen dari pemberi giveawaynya. Jujur aja aku cukup heran, kenapa ya kok nggak boleh berekspektasi tinggi? Karena ini novel keduanya kak Adelina, dan aku belum pernah baca yang pertama, mungkin lebih membantuku untuk tidak berekspektasi.
Buku ini diceritakan dari POV Andra dan Shaien. Bagaimana kehidupan Shaien yang tenang, nggak ada gangguan hidup yang berarti, yaaaaahh.. kayak pemikiran kita sebagai orang biasa ngeliat orang kaya lah. Pasti mereka enak, ini itu, apalagi Shaien anak tunggal. Enaknya pasti double. Perlahan-lahan, kita juga diajak untuk mengetahui bagaimana sosok Andra, anak ketiga dari empat bersaudara, memiliki usaha, sibuk membantu ayahnya karena ayahnya cukup perhitungan untuk menambahkan karyawan lain. Hidup yang mungkin menyenangkan untuk orang lain. Tapi memang rumput tetangga selalu lebih hijau kan?
Ternyata, Shaien yang dibilang enak ini juga menyimpan satu rahasia. Rahasia yang cukup besar, yang kalau ketauan mungkin bikin gempar semuanya. Rusak sudah image baik yang menempel sama dia. Berat banget rasanya jadi Shaien. Kok aku bisa bilang begitu? Iya, aku punya temen yang sama kayak Shaien, beban banget hidupnya sebelum dia bisa berbagi rahasia itu sama aku dan satu temenku lagi.
Yang aku suka di sini tuh semangatnya Andra. Meskipun dia ngeluh, tapi dia juga melihat kehidupan dari sisi lainnya. Kalo versi Andra sih namanya beauty filter. Membantu kita supaya mikir dari sisi lain, biar hidup nggak negthink terusss.. Hahaha..
Overall, aku suka sama novelnya. Cara kak Adelina membawa masalah Shaien, keunikan Andra, dan tempat-tempat tersembunyi di Glodok, Gang Gloria dan juga Mangga Besar. Risetnya pasti gila-gilaan banget ini. Baca novel ini menurutku lebih banyak melihat kehidupan. Nggak selamanya sesuai sama yang kita mau, nggak selamanya apa yang kita rencanakan bakalan kejadian, bisa aja plan yang udah ditata sebelumnya bakalan berantakan. Tapi toh hidup harus tetep jalan kan?
Q U O T A B L E
"Kalau itu sih gue nggak tahu. Tapi, Ndra, lo nggak disiapin utnuk ketemu gue doang. Lo disiapin untuk jadi lebih baik saat ketemu setiap orang. Siapa tahu kan selain gue, ada orang yang sering silang jalan sama lo, tai lo baru akan kenalan sama dia bertahun-tahun lagi, karena kalian berdua lagi disiapkan untuk jadi pribadi yang lebih matang saat bertemu nanti." P. 93"Karena kalau udah dijalanin, nggak ada hal yang semenakutkan itu. Tiap kali gue habis melakukan sesuatu yang sebenarnya sulit, gue pasti mikir, hmmm ternyata nggak semenakutkan itu, ya? Justru kalau gue ragu-ragu dan nggak jadi mencoba sesuatu, gue jadi nyesel Ien. Makanya, kalau ada kesempatan atau masalah apa, coba dijalanin aja. Tabrak aja. Pada akhirnya semu pasti bakal baik-baik aja." P. 105"Terkadang, jujur kepada diri sendiri kalau kita sedang bersedih adalah cara yang ampuh untuk membuat kesedihan sendiri itu pergi. Kalau kita nggak mengizinkan diri sendrii untuk merasakan kesedihan tersebut, selamanya sedih itu nggak akan pernah meninggalkan kita." P. 129"Nggak selamanya cobaan itu bentuknya selalu buruk dan hal baik itu bentuknya selalu baik. Mungkin lo menganggap apa yang lo alami sekarang itu cobaan, tapi nggak ada yang tahu kan kalau aja hal ini... penurunan Samsara dan lo yang lagi sedih seakarang adalah pertanda baik yang akan membawa lo ke hal yang lebih baik lagi? Dan lo nggak akan tahu apa itu benar atau nggak, kalau lo nggak maju terus ke depan, Ndra." P. 131"Kadang seseorang butuh waktu lebih untuk menerima hal ini, Ien. So don't jugde her too quickly. Don't feel hurt too quickly. She'll come around. Dan semuanya akan baik-baik saja." P. 185"Kalau marah ya marah. Sedih ya sedih. Jangan semuanya lo anggap nggak apa-apa. Nggak sehat kayak gitu, Ien." P. 192"Seksualitas lo hanya sebagian kecil dari lo, bukan diri lo yang sesungguhnya. And why the heck people have to hate what they don't understand, sih? Mereka tuh nggak ngerti caranya memanusiakan manusia, apa?" P. 209
No comments:
Post a Comment