Tuesday, October 17, 2023

[REVIEW] Sekosong Jiwa Kadaver

Sekosong Jiwa Kadaver

Ita Fajria Tamim

Falcon Publishing

390 Halaman

"Don't be burdened with my story, it's just and everyday life. Ketika kesulitan sudah menjadi bagian dari dirimu, semua terasa biasa saja."


B L U R B

Rayya, putri seorang kiai di sebuah pesantren, akhirnya berhasil mewujudkan impiannya menjadi mahasiswa kedokteran. Dia berangkat ke Pulau Bali dengan hati berbunga-bunga meskipun beberapa anggota keluarganya ragu akan keputusan itu.

Namun, apa yang dibayangkan indah ternyata lain angan dengan kenyataan. Peristiwa dua kali Bom Bali yang terjadi beberapa tahun sebelumnya menyebabkan tingginya sentimen terhadap umat muslim. Rayya pun menghadapi bullying dari beberapa temannya yang rasis.

Standar kuliah yang tinggi, pergaulan bebas, dan persahabatan dengan seorang pemuda Bali, membuat Rayya semakin kebingungan meniti jalan yang dipilihnya sendiri menuju impiannya.

Turbulensi kehidupan pun akhirnya memaksanya memahami, bahwa dunia nyata ternyata tak seaman dan senyaman dinding rumah dan tembok pesantren yang selama ini melindunginya.

- - - - - - - - - - 

Menjadi seorang dokter seperti dr. Tjipto Mangunkusumo adalah hal yang sudah diinginkan Rayya sejak lulus SMA. Sayangnya, untuk mendapatkan pendidikan kedokteran ini tidak mudah. Dia harus merelakan satu tahun untuk menjalani pendidikan fisipol, yang membuatnya menemukan kehidupan yang cukup berbeda dengan kehidupan semasa dia masih tinggal di rumahnya, atau pondok pesantren milik keluarganya.
"Kalau aku, siapa saja boleh jadi temanku, tapi ATM. Asal tidak muslim!" P. 153
Akhirnya Rayya mendapatkan kesempatan mendapatkan pendidikan kedokteran di Bali setelah usaha keduanya. Bagi Rayya, hal ini seharusnya tidak menjadi masalah, karena sebelumnya saat kuliah fisipol, dia juga hidup jauh dari orang tuanya, meskipun masih di pulau yang sama. Yang ada dipikiran Rayya, yang penting bisa mendapatkan pendidikan kedokteran sesuai dengan kemauannya. Segala cara halal akan ditempuhnya, pindah ke Bali pun seharusnya tak jadi masalah.

Sayangnya, kehidupan di Bali berbanding terbalik dengan kehidupan di Jawa. Apalagi untuk seorang muslim seperti Rayya, ada banyak hal yang harus diperhatikannya agar dia tidak terjebak pergaulan bebas, belum lagi pendidikan kedokteran yang keras dan disiplin membuatnya mau tak mau terus menyesuaikan diri, supaya bisa mengimbangi teman-temannya yang lain. Bisakah Rayya bertahan ditengah perubahan hidup dan lingkungan yang mendadak ini?


Mengambil latar waktu yang cukup lama, kak Ita berhasil bikin aku jadi nostalgia ke jaman ke mana-mana nggak bawa gadget. Yep, salah satu alat komunikasi yang dipakai adalah handphone yang cuma bisa dipakai sms dan telepon. Pakai laptop pun bener-bener untuk sesuatu hal yang buat tugas, bukan dipake nonton drama.

Adalah Rayya seorang anak Kiai yang terbiasa hidup dengan berbagai macam aturan agamanya, sewaktu dia masih di pulau Jawa, kayaknya masih bisa terkendali. Meskipun kuliah di Jogja, apalagi jurusan fisipol, yang berarti akan banyak sekali mahasiswa laki-lakinya. Tapi nggak masalah, dia masih bisa mengendalikan diri.

Yang aku cukup salut sama Rayya, dia bisa dan mau untuk terus memperjuangkan mimpinya. Menjadi dokter itu menurutku nggak mudah. Kuliahnya lama, jadwalnya padat, materi yang perlu dibaca banyak banget. Dan novel ini menjelaskan cukup banyak detail tentang kuliahnya.

Aku suka bagaimana kak Ita sebagai penulis memasukkan unsur Bali melalui canang, adat istiadatnya, sampai beberapa kejadian yang mungkin masih membekas. Juga kesenjangan agama yang cukup kental. Kurasa kalau kesenjangan agama tuh masih terasa sampai saat ini. Stigma teroris menurutku juga agamis banget, jadi bikin kita sebagai orang yang ngelihat itu langsung tertuju ke satu agama.


From the book...
"Don't be burdened with my story, it's just and everyday life. Ketika kesulitan sudah menjadi bagian dari dirimu, semua terasa biasa saja." P. 178

"Ayah bilang, nilai terpenting seorang manusia adalah kejujurannya. Sekali nilai itu ternodai, sulit manusia akan dipercaya lagi seumur hidupnya." P. 219

No comments:

Post a Comment