Wednesday, March 29, 2023

[REVIEW] Take a Trip Down Memory Lane

Take a Trip Down Memory Lane

Ayu Dewi

232 Halaman

Elex Media Komputindo

"Atau sedikit banyak, doa-doa terkabulkan ketika kita sudah lupa dengan doa itu. Ketika kita sudah tidak menginginkan itu lagi."


B L U R B

Galih Fajar adalah pekerja serabutan yang akhirnya berhasil mendapat pekerjaan tetap menjadi seorang pengantar surat. Dalam satu hari yang aneh, ia mengantarkan surat ke alamat rumah teman-teman SMP Tanjung Asri yang sudah lama tidak ada kabar. Tak disangka, jejak-jejak masa lalu yang membuatnya larut dalam nostalgia itu justru menuntunnya pada kehidupan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Mau tak mau, Galih harus terusik dengan fakta-fakta kehidupan baru yang kontras dan mempertemukannya kembali dengan cinta pertamanya.

Satu demi satu benang kenangan kembali terjali, hingga membuatnya mengeri bahwa masa lalu dan masa depan tidak selalu berada pada garis lurus. Alam semesta selalu memainkan perannya, bahkan dalam saat-saat yang tak terduga.

- - - - - - - - -

Galih Fajar, setelah lulus dari SMA, dia langsung terjun ke dunia kerja. Bekerja apapun, yang penting mendapatkan uang. Karena, apa yang diharapkan dari lulusan SMA? Pekerjaannya pun beragam, jadi apapun. Kuli bangunan, tukang mebel, sopir truk, bahkan sampai jadi nelayan pun dijabaninya.
"Terpujilah seorang pengantar surat. Kalau tidak ada dia, surat-surat ini hanya akan berakhir di kotak surat. Tidak akan ada berita, salam, dan rindu yang tersampaikan." P. 9
Setelah cukup lama menganggur, Galih memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai pengantar surat. Salah satu pekerjaan yang dulu pernah menjadi cita-citanya karena ucapan sang Ibu yang suka berkoresponden.

Menjadi seorang pengantar surat bagi Galih merupakan hal yang lebih mudah ketimbang kehidupannya di laut dulu. Tapi, ada satu hari di mana dia harus mengantarkan surat ke rumah teman-temannya sewaktu SMP, dari sini, dimulailah masa nostalgianya, termasuk nostalgia pada satu orang, cinta pertamanya.


Menjadi pengantar surat, kurir, ataupun paket ini memang harus diapresiasi tinggi. Karena, sadar atau enggak, mereka tuh berusaha untuk mengirimkan paket, pesanan, dan pesan untuk orang yang kita sayang. Di luar sikap mereka yang kadang nggak ramah-ramah amat ya.

Mengambil latar tempat di Surabaya, aku tuh berasa masuk ke dalam ceritanya kak Ayu. Mulai dari tempat tinggal Yakoub—sahabatnya Galih, tempat kerjanya Wening, tempat kerjanya Galih juga. Apalagi diselipkan juga bahasa Suroboyoannya. Muantep banget! Arek Suroboyo pwol se.

Percaya nggak, ada orang dengan kadar keberuntungan yang tinggi? Salah satunya Galih. Jadi pengantar surat, lalu kemudian bertemu dengan cinta pertama. Katanya, cinta pertama itu never end. Ya bener sih, tapi gimana ya, meskipun cinta pertama, kalo nggak jodoh ya, nggak jodoh. Nah Galih? Kasus khusus dia mah. Pertemuannya dengan Paramita—cinta pertamanya ini juga nggak disangka-sangka.

Emang yang namanya jodoh itu, mau jalan sejauh apapun, mau ke belahan dunia manapun, pasti bakalan ketemu. Aku juga percaya dengan hal itu. Meskipun nggak mengalaminya sendiri, tapi percaya aja.

Alur di novel ini nggak selalu maju. Ada kalanya mundur, menceritakan bagaimana kehidupan Galih di masa lalu. Gimana dia sebelum akhirnya di tahap ini. Strugglenya juga banyak. Ada masanya dia juga iri sama kehidupan teman-temannya. Mereka yang dulunya sekolah apa adanya, sekarang sudah jadi orang yang dipandang di perusahaan tempat kerjanya, dan berbagai sudut pandang lainnya.

Aku suka sama karakternya Galih. Semangatnya dia, cara dia menghadapi masalah, setia kawannya, kerja kerasnya dia. Ah! Dia ini juga family man, keliatan banget dari caranya memperlakukan kedua orang tuanya. Tulus dan sayang banget!
 
 
From the book...
"Ilmu bisa didapat di mana saja. Yang kita dapatkan dari lulus kuliah hanya sebuah gelar. Semua roang memang melihat apa yang tampak mata; mereka melihat gelar. Tapi nggak pernah mereka melihat kedalaman ilmu yang dimiliki seseorang, tanpa melihat apa yang terlihat." P. 51
 
"Akhirnya Tiara tahu, bahwa tolok ukur kebahagiaan setiap idnividu itu berbeda. Mereka bahagia dengan cara mereka sendiri dan sumber kebahagiaan yang mereka rasakan belum tentu menjadi sumber kebahagiaan orang lain." P. 88
 
"Sadar ndak, Lih. Doa-doa yang ngawur dan sepele begitu malah lebih sering dikabulkan daripada doa-doa yang tulus diucapkan dalam hati. Doa-doa yang mencerminkan betapa akan menderitanya manusia jika doa itu tidak dikabulkan dan tidak pernah terjadi. Atau sedikit banyak, doa-doa terkabulkan ketika kita sudah lupa dengan doa itu. Ketika kita sudah tidak menginginkan itu lagi." P. 127

No comments:

Post a Comment