Perempuan yang (Tak) Sempurna
Mei Shin Manalu
45 Parts on Cabaca — Ending
"Semua perempuan mungkin bisa memiliki anak, tapi tidak semua
perempuan bisa memiliki kecakapan untuk menjadi seorang ibu, Sayang."
B L U R B
"Nduk, menjadi perempuan itu harus melalui tiga fase. Pertama sebagai putri, kedua sebagai istri, dan ketiga sebagai ibu. Kalau kamu sudah mencapai ketiga fase itu, barulah kamu bisa dikatakan sebagai seorang perempuan yang sempurna."
***
Tujuh tahun Savita menikah dengan Dipta, dosen filsafat di kampusnya dulu, dan selama itu pulalah ia harus menerima tudingan dan cemoohan mertua soal dirinya yang mandul.
Satu-satunya yang menawarkan kenyamanan bagi wanita itu kini hanyalah perpustakaan Mahesa. Sejenak, Savita bisa menenangkan diri kala bekerja menjaga perpustakaan adik tingkatnya itu. Namun, suatu malam, masalah yang mengimpit dan kenyamanan yang Mahesa tawarkan membuat keduanya menghabiskan malam di tempat tidur.
Dua bulan kemudian pun, Savita dinyatakan hamil. Mahesa terus menanyakan apakah anak yang wanita itu kandung adalah anaknya, sementara di satu sisi Dipta menyambut bahagia berita kehamilan sang istri.
Apa yang harus Savita lakukan? Haruskah ia jujur jika bayi yang dikandungnya merupakan anak Mahesa? Ataukah selamana ia simpan saja rahasia itu rapat-rapat demi kebahagiaan rumah tangganya dan Dipta?
- - - - - - - - -
Tinggal di Indonesia, menikah dan nggak kunjung punya anak ini jadi salah satu masalah yang bisa memancing pertikaian, mungkin bisa geger dunia pencak silat. Sama halnya dengan kasus Savita-Dipta. Menikah bertahun-tahun, kehidupan seks yang baik, tapi mereka nggak kunjung punya anak. Seringnya, Savita dibilang mandul oleh mertuanya. Hampir setiap hari mendengar sebutan mandul, membuat Savita lama-lama juga kesel, tapi dia nggak bisa berbuat apa-apa.
"Kenapa kamu pikirkan perkataan orang lain? Kamu tidak hidup dari mereka dan mereka juga tidak hidup darimu. Dan juga yang terpenting bagi Tante itu dirimu, Savita. Bukan orang lain. Tante sama sekali tidak peduli dengan mereka."
Dalam sehari-harinya, Savita hidup sebagai ibu rumah tangga. Semenjak ibu mertuanya merasa bahwa Savita dan Dipta terlalu capek bekerja, akhirnya Savita memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Dipta pun merasa lebih baik kalau Savita di rumah saja, menyambutnya ketika pulang bekerja.
Sampai akhirnya, Savita memutuskan untuk bekerja di perpustakaan dekat rumahnya, yang ternyata ini adalah milik adik tingkatnya. Seiring berjalannya waktu, Mahesa memiliki daya pikat dan kenyamanan yang dibutuhkan Savita. Hal inilah yang membuatnya melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan.
Warning dulu, sebelum baca ini, harus mempersiapkan batin dan mental yang bener-bener tidak mudah emosi. Karena aku selama baca novel ini, EMOSI BANGET!
Sebelum ke ceritanya, memang ada baiknya kita kenalan dulu sama tokohnya ya. Ada Savita yang menikah dengan Dipta, salah satu dosen filsafat muda di kampusnya. Bagi Savita, Dipta ini cowok yang ngemong banget. Bisa manjain Savita, ganteng pula. Jadi Savita tuh ngerasa seneng pas bisa ngedapetin Dipta, bayangin aja, saingannya anak sefakultas, bisa dikalahin sama Savita. Kehidupan mereka juga tenang-tenang aja, meskipun masih belum ada anak, dan Dipta yang mulai sedikit protektif sama Savita.
Emang kadang perempuan tuh susah banget ya diterima di keluarga pihak laki-laki, sebaik apapun, sesopan apapun, masih ada aja celanya di mata mertua. Ya meskipun nggak semuanya begitu, tapi mertuanya Savita ini tipe mertua pada umumnya, udah mulutnya tajem, suka nyindir, dan adaaaa aja komennya. Masih belum punya anak sampai beberapa tahun pernikahan, juga jadi salah satu sindiran dari mertuanya ini. Dibilang mandul lah, nggak mampu lah. Kesel banget deh pokoknya.
Alur ceritanya menurutku menarik banget. Karena nggak cuma ngebahas tentang kehidupan pernikahannya Savita aja, tapi juga masa lalunya gimana. Jadi kita tau, dulunya Savita orang yang kayak gimana, sebelum ketemu Dipta yang hhhh.. embuhlah sama cowok satu ini. Ternyata dulu Savita ini orangnya ceria, suak banget ketemua sama orang baru. Sayangnya, sejak menikah sama Dipta, dia tuh berubah banget. Apalagi Dipta selalu bilang dia nggak perlu begini begitu.
Perselingkuhan, dalam bentuk apapun itu nggak pernah bisa ku terima. Karena menurutku, selingkuh itu penyakit yang nggak bisa sembuh, sampai kamu sendiri yang memang mau berubah. Baru deh bisa berhenti. Selama kamu masih terus mencari, ya nggak akan pernah ada ujungnya. Tapi dalam kasus Savita ini, aku di tengah-tengah! Nggak bisa milih.
Faktor kehamilan itu kan nggak hanya dari satu pihak aja. Seringnya, kalau sampai nggak kunjung punya anak, yang kena selalu yang cewek. Padahal bisa aja sperma pasangan yang lemah, atau ada alasan kesehatan lainnya. Nah, ini yang sering terjadi, termasuk juga di kasusnya Savita. Pas Savita ngecek, dia nggak ada masalah apapun, aku ngerasa kalau masalahnya ada sama Dipta. Tapi ada plot twist! Tetep masalahnya di Dipta sih memang, cuma aku nggak nyangka aja.
Aku suka dengan temanya, meskipun nggak suka perselingkuhannya ya. Kehidupan pernikahan itu selalu menarik buat aku. Setelah baca secara keseluruhan, jujur aku kasian sih sama Savita, dia itu jadi orang yang beda banget soalnya. Padahal kan, menikah bukan berarti bakal mengubahmu sepenuhnya.
From the book...
"Tidak ada kebahagiaan sejati yang tercipta dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain, Sayang. Kamu dan aku harus bahagia terlebih dulu agar Kaiya bisa bahagia. Bagaimana seorang anak bisa tumbuh dengan baik di antara orang tua yang tidak bahagia?""Orang tua marah itu wajar, Sayang. Tapi bukan berarti kita juga harus marah pada mereka. Lagi pula, yang salah adalah kita. Sudah seharusnya kita meminta maaf pada Bapak. Setelah itu, apakah Bapak mau memaafkan atau tidak, itu hak Bapak. Yang penting kita sudah melakukannya dengan tulus.""Semua perempuan mungkin bisa memiliki anak, tapi tidak semua perempuan bisa memiliki kecakapan untuk menjadi seorang ibu, Sayang."
No comments:
Post a Comment