Sunday, September 8, 2019

[Review] Playing Victim


Judul : Playing Victim

Penulis : Eva Sri Rahayu

Penerbit : Noura Publishing

Tebal : 397 Halaman

"Sahabat yang baik nggak membenarkan kesalahan yang diperbuat sahabatnya, Kak. Sahabat yang baik harus ngingetin. Kalau nggak bisa, tampar sekalian biar sadar."


BLURB

Berpura-pura menjadi korban, itulah yang dilakukan tiga sahabat demi menyingkirkan musuh mereka. Video tindak kekerasan yang mereka alami menjadi viral. Mereka mencecap ketenaran, kemudian terhanyut di dalamnya. Media sosial dan simpati netizen menjadi candu.
Intensitas permainan semakin brutal, nyawa mereka menjadi taruhan. Netizen menginginkan sesuatu yang dramatis. Akhir yang tragis.
Saat itulah mereka menyadari satu hal: benarkah mereka bukan korban?

- - - - - - - - -

Afreen, Calya dan Isvara adalah seorang siswa di SMA Ibu Bangsa. Hari itu, mereka sedang menjalani kegiatan olahraga yang dipandu oleh Bu Rina, guru olahraga yang terobsesi banget biar anak-anak didiknya jadi atlit. Karena tuntutan inilah, Isvara yang bertubuh berisi jadi bahan ejekan dan dianggap menghambat.
"Apa popularitas lo yang sekarang nggak cukup, Cal? Lo masih harus manfaatin guru-guru buat ngedongkrak popularitas lo? Mereka itu guru lo, yang bersungguh-sungguh kepengin ngedidik kita. Bukan barang yang seenaknya lo jadiin bahan eksploitasi. Jangan-jangan lo sekarang megalomania?" — P. 25 to 26
Di hari berikutnya, ketika mereka melakukan kegiatan olahraga, Afreen, Calya dan Isvara malah pingsan dan membuat mereka menjadi viral. Dan seperti biasa, kekuatan media sosial membuat mereka jadi terkenal, apalagi ada kasus di antara mereka. Hal inilah yang kemudian membuat mereka terkenal di Instagram dan perlahan menjadi selebgram.

Saat memasuki dunia perkuliahan, mereka mulai berjauhan. Kontak yang dilakukan ya hanya sebatas melalui chatting dan media sosial lainnya. Afreen mulai sibuk dengan konten Youtube-nya, selain endorsement yang dilakukan via Instagram. Calya yang selalu dijadikan panutan dalam relationship goals-nya dengan Dafis. Dan terakhir, Isvara, yang tidak banyak berkembang. Isvara sendiri juga merasa heran, kenapa dia tidak bisa semelejit teman-temannya, padahal dia sudah melakukan banyak hal bermanfaat di akunnya, tapi masih saja banyak followers yang meng-unfollow akunnya. Di sisi lain, Isvara mulai merasa kehilangan followers-nya dan mulai memikirkan berbagai cara agar akunnya sama tenarnya dengan sahabat-sahabatnya. Tapi apakah bisa? Ataukah dia harus membuat sensasi lagi agar banyak orang mengikutinya?


Salah satu novel urban thriller jebolan Noura yang mengangkat tema media sosial yang cukup berbahaya kalau tidak bijak dalam penggunaannya, mulai dari Facebook, Instagram, dan juga Youtube. Bijak ini baik dari sisi pempublikasian apa yang seharusnya kita share, kita harus bisa mempertanggungjawabkan hal itu. Sering banget kan akhir-akhir ini banyak orang yang nggak bertanggungjawab sama apa yang dia share di linimasanya? Dan kalau udah jadi kasus, malah seenaknya aja ngelempar hal itu ke orang lain, terus malah jadi saling tunjuk. Nggak keren banget lah.

Selain media sosial, tema kesehatan mental yang akhir-akhir ini juga jadi sorotan nih. Kayak Isvara, yang kebingungan banget kalau apa yang diuploadnya nggak dapet respon sesuai keinginannya, yaitu sama dengan Calya dan Afreen, atau minimal nggak jauh-jauh amat lah. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, dia dapet likes yang sedikit, hal ini bikin dia kebingungan, dan mulai mikir, apalagi yang harus dilakuin sama dia? Keinginan untuk terus ngecek media sosialnya, itu juga salah satu penyakit mental loh!

Untuk jalan ceritanya sendiri, di sini pakai sudut pandang masing-masing karakternya, mulai dari Isvara, sampe Afreen. Dan ada clue tersembunyi yang bikin bertanya-tanya! Sementara alurnya itu dari belakang ke depan. Jadi di awal bab atau kejadian, ada tulisan kapan kejadiannya, jadi nggak bingung, dan kita tau posisi waktunya kayak gimana. Seru banget sih. Apalagi di bagian dramanya. Top markotop deh!

Quotable:
"Siapa bilang gue anti medsos? Gue cuma lebih suka komunikasi langsung, Cal. Media sosial mana pun suatu hari bakalan hilang, tapi manusia selalu butuh bertemu, saling bicara dari hati ke hati." — P. 107

"Orang-orang sering menganggap cara terbaik mengendalikan seseorang adalah lewat kekuasaan, menjadi dominan. Namun, ada satu cara lain yang sangat sederhana: menjadi pendengar yang baik. Siapa yang tidak butuh pendengar? Itulah mengapa manusia diberi dua telinga dan hanya satu mulut." — P. 178 

No comments:

Post a Comment