Wednesday, April 22, 2020

[Review] Dua Garis Biru


Judul : Dua Garis Biru

Penulis : Lucia Priandarini, Gina S. Noer

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 216 Halaman

"Jadi orangtua itu bukan cuma sembilan bulan sepuluh hari kamu hamil, Dara! Jadi orangtua itu seumur hidup."


BLURB

Dara, gadis pintar kesayangan guru, dan Bima, murid santai yang cenderung masa bodoh, menyadari bahwa mereka bukan pasangan sempurna. Tetapi perbedaan justru membuat keduanya bahagia menciptakan dunia mereka sendiri. Dunia tidak sempurna tempat mereka bisa saling mentertawakan kebodohan dan menerbangkan mimpi.

Namun suatu waktu, kenyamanan membuat mereka melanggar batas. Satu kesalahan dengan konsekuensi besar yang baru disadari kemudian. Kesalahan yang selamanya akan mengubah hidup mereka dan orang-orang yang mereka sayangi.

Di usia 17, mereka harus memilih memperjuangkan masa depan atau kehidupan lain yang tiba-tiba hadir. Cinta sederhana saja ternyata tak cukup. Kenyataan dan harapan keluarga membuat Bima dan Dara semakin terdesak ke persimpangan, siap menjalani bersama atau melangkah pergi ke dua arah berbeda.

- - - - - - - - - -

Dara, si anak pinter, kesayangan guru dan punya tujuan hidup yang jelas. Korea adalah tujuan selanjutnya. Melanjutkan mimpinya, bertemu dengan para idolanya, dan masih banyak hal yang akan dilakukannya nanti. Sedangkan Bima, si anak slengean, hidup santai, yang penting dijalani. Bukan kesayangan guru, dan tentu saja selalu dibanding-bandingin sama Dara, pacarnya. Ya memang siapa sih yang nggak gemes ngeliatnya, yang satu juara kelas, yang satunya, duh, mendingan nggak ngomong deh, daripada bikin nyesek si Bima.
"Kamu memang bukan anak paling pintar, Bim. Tapi Ibu selalu percaya kamu anak baik.." P. 182
Pacaran kebablasan. Mungkin ini kata-kata yang tepat. Akibat kelakuan Bima dan Dara, kini mereka harus menanggung akibatnya. Dara hamil. Mungkin hal ini bisa jadi kabar baik bagi mereka yang sudah memiliki pasangan atau yang sedang mengharapkannya. Tapi Bima dan Dara? Mereka bahkan masih sekolah. Bingung? Pasti. Mungkin aborsi adalah cara yang masuk akal untuk mereka berdua. Tapi Dara nggak setega itu. Lalu, bagaimana mereka berdua kembali melangkah? Bisakah Dara tetap mencapai cita-citanya?


Hamil di luar menikah. Hal yang bagiku udah nggak se-wow dulu. Apa ya? Karena temen sendiriku, dan juga temen-temen yang aku tau dan kenal, mereka juga ngalamin hal ini. Dan lagi, seks di jaman sekarang ini bukan hal yang tabu, bukan hal yang nggak boleh diomongin kayak dulu. Seks sekarang lebih bebas, bisa dicari tau, diakses, dan bahkan dipraktekkan dengan mudah. Kalau kayak begitu, siapa yang harusnya diperingatkan?

Buat aku, novel ini cukup bagus. Banyak pelajaran yang bisa diambil. Jangan sampe pacaran kebablasan kalau belum siap nanggung. Apalagi kalau sampe ngaborsi anaknya, atau nantinya bakalan ditelantarin. Sungguh. Hamil di luar nikah itu udah kayak dosa sih buat aku, jadi jangan ditambahin lagi dosanya dengan nelantarin anaknya dengan cara apa pun. Dukungan keluarga juga perlu. Seringkali, keluarga ini malah apa ya? Menganggap anak ini aib, jadi malah ditelantarin juga ibu dan anaknya.

Menurutku, versi novel ini lebih komplek sih ketimbang filmnya. Ya meskipun novel ini sama aja kayak nonton filmnya, tapiiii.. Di novel lebih dijelasin gimana perasaan tokoh-tokohnya. Kalo di film kan dia cuma merenung, nggak tau apa yang dipikirin. Sedangkan di novel lebih dijelasin gitu. Gimana perasaannya, apa yang mau dilakuin ke depannya?


Quotable:
"Memang, ingatan adalah kotak yang perlu terus dikunjungi untuk melukis peta ke depan, menyadari mana yang perlu dipugar dan mana yang akan terus dibawa menjadi bagian diri." P. 188

No comments:

Post a Comment