Thursday, April 9, 2020

[Review] Tokyo dan Perasaan Kesedihan


Judul : Tokyo dan Perasaan Kesedihan

Penulis : Ruth Priscilia Angelina

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 208 Halaman

"Kita semua egois untuk hal-hal yang kita sayangi, Josh. Ini bukan perlombaan"


BLURB

Joshua Sakaguchi Widjaja meneruskan perjalanan ke Tokyo untuk sejenak menjadi pecundang dalam hidupnya Dia mengimpikan duduk-duduk santai bersama kopi di dekat taman dan menemukan gadis cantik untuk dijadikan teman menyenangkan. Tapi, di Tokyo yang menyambutnya dengan hangat, dia malah dipertemukan dengan Shira yang banyak bersedih dan meninggalkan banyak surat. Untuk pertama kali dalam hidupnya, alih-alih pecundang, Joshua malah sibuk menjawab banyak pertanyaan yang tak pernah dia pertanyakan.

Shira Hidajat Nagano melarikan diri ke Tokyo untuk menemukan penyelesaian paling terencana dalam hidupnya. Dia membayangkan terjebak di lautan hutan bersama berbagai penyesalan untuk selama-lamanya ditenggelamkan. Namun, di Tokyo yang menggigilkan hatinya, dia justru bertemu Joshua yang semarak dan mampu memvalidasi keputusasaannya. Untuk kali terakhir dalam hidupnya, bukan mengerjakan penyelesaian, Shira dihentikan sejenak oleh jawaban-jawaban yang tak pernah dia kira akan didapatkannya.

- - - - - - - - - -

Shira Hidajat Nagano, hidup berkecukupan, memiliki pekerjaan yang bisa dibilang cukup enak. Sayangnya, dia nggak bisa jadi dirinya sendiri. Dia memiliki tugas tak kasat mata, membahagiakan semua orang yang ada di sekitarnya. Menuruti apa yang dikatakan Ibunya, menjadi teman yang baik untuk teman-temannya. Kalau dia mengeluh tentang keadaan yang tak diinginkannya, temannya pasti bilang, setidaknya masih ada yang baik di dalam hidupnya. Akhirnya, akhir tahun ini, dia memutuskan untuk pergi ke Tokyo, lari sejenak dari hidup yang membuatnya lelah.
"Karena nyatanya mencoba jadi bahagia tidak bisa melawan semua itu. Coba jadi bahagia, sebaliknya, semakin melahirkan kerisauan. Seperti misalnya, bagaimana waktu semua ini nanti selesai? Atau, kira-kira sampai kapan kebahagiaan ini ada?" — P. 36
Joshua Sakaguchi Widjaja, pemain biola yang sedang mengadakan resital di Tokyo. Pertemuan pertamanya dengan Shira justru karena hal sereceh Tolak Angin. Sesuatu hal yang cukup sulit ditemukan di Jepang. Karena itulah, mereka berdua jadi sedikit dekat. Datang ke resital Joshua, dan pergi ke kafe, menghabiskan waktu. Sesuatu hal yang awalnya dibayangkan Joshua akan dilakukan bersama dengan mantan pacarnya.

Bagi Shira, pergi ke Tokyo adalah menemukan kebebasan yang selama ini tak didapatkannya. Pergi ke mana saja tanpa harus datang ke tempat yang sama berulang kali dengan orang yang sama. Sayangnya, sesampainya di Tokyo, saat datang ke satu tempat, Shira selalu teringat kedua orangtuanya. Bagaimana kalau orangtuanya ikut bersamanya, menghabiskan waktu lagi di tepat yang sama. Hal yang cukup mengganggunya. Sedangkan bagi Joshua, pergi ke Tokyo ya hanya untuk resitalnya, dan mungkin menghabiskan waktu sebentar di sana. Tapi apa jadinya kalau saat bertemu dengan Shira, Joshua malah menyadari kembali bagaimana selama ini kehidupannya. Apakah sudah dijalankannya dengan baik atau belum. Lalu, bagaimana dengan Shira? Bisakah dia menemukan jawaban atas pertanyaannya yang dibawanya ke Tokyo?


Huh, harus ku mulai dari mana ya ini? Ceritanya menurutku biasa aja sih. Dalam artian, aku, atau mungkin pembaca lainnya itu pernah mengalami hal ini. Tapi karena kak Ruth yang nulis, perasaan itu bisa dibawa naik turun kayak rollercoaster. Nggak cuma naik turun, tapi juga ikutan kebawa sama suasananya selama baca buku.

Cerita ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah bagiannya Shira. Menurutku, Shira ini juga cukup tersiksa, karena dia harus membahagiakan kehidupan orang lain. Berguna banget hidupnya. Tapi di sisi lain, temen-temennya tuh kayak toxic positivity. Ah kan kehidupan kamu lebih enak, kerjaan enak, dan lain sebagainya. Hal itu yang menurutku bikin Shira penat. Belum lagi mamanya yang juga cukup ribet. Jadi ya susah gitu posisinya dia.

Sementara di bagian Joshua, diceritain gimana sih kehidupan Joshua. Waktu dia kecil, apa aja privilege yang dimiliki dia, yang sebenernya juga didapetin adik-adiknya kita juga. Mulai dari nakal, bohong, dan banyak hal lainnya. Ya namanya adik, apalagi cowok, biasanya kan rada ngeselin dan ngelunjak gitu. Dan ternyata, dibalik sikap nyebelinnya dia, karena Shira, dia juga inget ada beberapa penyesalan yang kembali bikin dia nyesek lagi. Bikin dia mikir, apa yang udah dilakuin dia selama ini. Udah kayak refleksi diri gitu. Cukup nyesek juga aku baca bagiannya Joshua ini. Nggak kelihatan, tapi malah paling menyedihkan.


Quotable:
"Itu masalah prinsip saja. Sekarang setelah kamu sendiri, kamu bisa memerintah dirimu sendiri, nggak?" — P. 66

"..Maeby that's what you called growing up? Lo tahu ada beberapa hal yang nggak akan lo tinggalin. Saat dia sedih gue ada di situ. Saat gue jatuh, dia pasti bangunin gue. Pasti." — P. 78

"Kejujuran nggak selalu bersifat heroik, Josh. Menurut pengalaman gue, jujur itu kebanyakan berbuah keributan." — P. 94

No comments:

Post a Comment