Sunday, May 3, 2020

[Review] Tujuh Hari untuk Keshia


Judul : Tujuh Hari untuk Keshia

Penulis : Inggrid Sonya

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 456 Halaman

"Begitu juga lo, gue harap suatu hari nanti, ketika lo bangun lo udah berhenti capek. Berhenti nangis. Berhenti ketakutan. Yang lo tahu saat itu cuma yang indah-indah aja. Karena semua manusia berhak untuk itu, kan? Untuk bahagia?"


BLURB

Sejak mantan pacarnya tahu-tahu saja kembali dan membawa seorang anak perempuan bernama Keshia yang katanya adalah anaknya, Sadewa tahu bila hidupnya akan kacau.

Lalu benar saja, Sadewa tidak pernah akur dengan Keshia. Jikaa di rumah, keduanya selalu saja bertengkar. Entah itu meributkan tagihan listrik, cicilan yang ditunggak berbulan-bulan, hutang beras di warung, dapur berantakan, atau bahkan cuma karena remote tv yang hilang. Masalah sekecil apa pun sepertinya selalu dijadikan momok untuk keduanya adu mulut dan membuat rumah menjadi zona perang seketika.

Keduanya tidak pernah memedulikan satu sama lain. Sadewa tidak pernah peduli dengan kehidupan Keshia, baik di rumah atau pun di sekolahnya. Sadewa tidak peduli dengan kelakuan putri tomboinya itu yang selalu saja berpura-pura kuat dan menganggap bisa mengatasi segalanya sendirian. Sementara Keshia, sama halnya dengan Sadewa, dia tidak pernah peduli dengan kelakuan ayahnya yang masih saja bersikap layaknya ABG itu.

Bagi Sadewa, Keshia itu pengganggu ulung atau mahkluk paling cerewet sedunia. Sedangkan bagi Keshia, Sadewa itu hanya seorang laki-laki 36 tahun yang hanya tahu bersenang-senang saja. Yang hanya tahu ngeband, mabuk-mabukan, atau main perempuan.

Sampai suatu ketika sebuah kecelakaan mengubah segalanya. Sebuah kecelakaan yang membuat Sadewa mati-matian ingin memenuhi seluruh keinginan Keshia, dan membuat Keshia ingin tetap bersama ayahnya sekalipun dia sangat membenci laki-laki itu. Sebuah kecelakaan yang memberikan keduanya pemahaman bila mungkin hanya kehilangan yang membuat mereka bisa berjalan beriringan tanpa lagi ada kebencian.

Kisah ini tentang waktu. Tentang kesempatan. Tentang kehilangan.

- - - - - - - - - -

Keshia, anak yang cukup pinter, sayangnya, kehidupannya bisa dibilang berantakan, tidak pernah mengenal ayahnya. Sedangkan hidup ibunya, juga berantakan sekali. Saat ini dia sedikit sedih, karena Oma-nya baru saja meninggal. Oma yang merawatnya lebih baik daripada ibunya sendiri. Bagi Keshia, Omanya cukup berjasa mengajarkannya banyak hal, mulai dari memasak hingga membuat kue. Kue yang dijual di sekolahnya untuk menambah uang jajan, bahkan uang sekolahnya.
"Idup lo udah ribet tanpa harus ngelibatin gue, jadi jangan sok peduli." P. 178
River, seorang pemain band di sebuah klub. Bagi River, rumahnya ya di tempatnya saat ini, bukan rumahnya yang megah tapi nggak ada kehangatannya sama sekali. Jangan bayangkan teman-teman River adalah anak-anak nakal seumurannya. Teman se-band River adalah orang-orang yang bahkan sudah hampir berkepala empat, tapi masih memiliki skill yang cukup baik untuk bermain band.

Selama ini, River selalu memperhatikan Keshia dari jauh. Entah apa yang menarik dari Keshia, tapi bagi River, Keshia sangat menarik, segala tingkah lakunya, caranya berbicara.

Pertemuan Keshia sendiri dengan ayahnya, Sadewa tidak cukup baik. Secara nggak langsung, dia dipindahtangankan dari ibunya ke ayahnya. Ayah yang selama ini nggak pernah dikenalnya, bahkan namanya pun nggak pernah disebutkan. Mengagetkan? Jelas. Dia bahkan merasa seperti barang yang bisa diserahkan kapan saja pemilik lamanya bosan, tapi apa yang bisa dilakukannya? Toh dia tidak punya apa-apa. Apalagi tingkah ayahnya sendiri seperti tingkah anak SMA yang sangat berantakan. Bekas minuman dan baju kotor di mana-mana.

Yang Keshia pikirkan saat itu hanyalah bertahan. Bertahan karena tabungannya tidak cukup kalau harus menyewa kamar kos, dan juga kebutuhan sekolahnya. Jadi Keshia bertahan di sana sampai dia memiliki tabungan yang cukup, dan kemudian pergi meninggalkan ayahnya. Tapi bagaimana kalau semua tidak sesuai rencananya? Bagaimana kalau semesta suka bermain-main dengannya?


Ngebaca Keshia ini apa ya, kayak banyak bete sama jengkel di awal-awalnya itu. Gimana nggak jengkel sama bete? Anak masih kecil gitu, tapi dia harus ngadepin dunia yang udah ngeselin abis. Mana setelah dia di Sadewa, ayahnya pun, hidupnya nggak jadi baik-baik aja. Sama aja kehidupannya.

Semakin ke bagian tengah buku, aku semakin ngerasa nyesek. Sedih sekali sama kehidupan Keshia, River, dan beberapa tokoh di sana. Konfliknya juga mulai terasa berat. Selain konflik rumit di rumah, ternyata Keshia juga punya masalah di sekolah. Hhh.. Kayak capek banget pasti jadi Keshia. Hebatnya, dia masih bisa nyemangatin, masih bisa mikir positif, meskipun dia jadi suka ngomel-ngomel gitu.

Suka sekali sama bukunya, ngingetin aku sama mama papaku. Papa yang cuek dan kadang nggak peka. Suka sama konflik keluarga dan persahabatannya. Kayak relate banget. Permasalahan di sekolah juga sering banget terjadi gitu. Iri, nggak suka, pengen ngajak berantem terus.


Quotable:
"Gue bercanda soal yang tadi. Jangan cepet-cepet bangun, istirahat dulu aja yang lama. Mimpi indah yang banyak, terus kalau udah sadar, gue harap lo udah lupain semuanya. Yang lo inget cuma kenangan-kenangan indah, biar lo bisa bilang sama ibu lo 'Wah, Ma! Pelangi itu beneran warna-warni ya' atau 'Ma, bulan itu terang. Matahari hangat. Hidup ini banyak cahaya' atau 'Bakso ojolali tuh enak lo, Ma. Bisa bikin bahagia. Ayo kita ke sana!" — P. 203

"Setiap bangun tidur, gue selalu berdoa untuk itu. Selalu berda bisa melihat kebahagiaan sekecil apa pun dengan bahagia pula. Enggak dalam situasi acak-acakan kayak gini mulu. Ya, awalnya gue berasa mirip Wonder Woman sih, tapi kalau dilaluin setiap hari kan capek juga..." — P. 204

"Begitu juga lo, gue harap suatu hari nanti, ketika lo bangun lo udah berhenti capek. Berhenti nangis. Berhenti ketakutan. Yang lo tahu saat itu cuma yang indah-indah aja. Karena semua manusia berhak unutk itu, kan? Untuk bahagia?" — P. 204

"Gue nggak butuh penilaian orang, nggak butuh penilaian Alena. Satu-satunya orang yang penilaianya gue lihat itu lo doang. Andaikan lo tetep marah sekalipun gue yang ngaku duluan, setidakya itu lebih mudah gue jalani. Karena rasa bersalah gue pasti nggak akan seberat ini." — P. 299

No comments:

Post a Comment