Judul : Unspoken Words
Penulis : Alicia Lidwina
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 311 Halaman
"Semoga anak ini tumbuh seperti bunga kemuning. Tidak perlu cantik, tidak perlu pintar, dan tidak perlu sukses dalam segala hal yang dijalaninya. Namun, banyak tumbuh dan bermekaran dengan sekuat tenaga. Mendatangkan harum bagi semua yang mengenalnya."
BLURB
Ada kata-kata yang tidak sempat terucap oleh Kemuning sebelum Bunda meningga dunia. Tak peduli betapa dia ingin memutarbalikkan waktu, Kemuning tahu dirinya sudah terlambat.
Ada kata-kata yang tak sempat terucap oleh Bunda semasa hidupnya. Oleh karena itulah beliau datang ke dalam mimpi Kemuning—untuk menyampaikan apa yang tak sempat tersampaikan tujuh tahun yang lalu ketika beliau masih hidup.
Bertemu kembali dengan Bunda di dalam mimpinya mungkin merupakan kesempatan terakhir Kemuding untuk meminta maaf—sesuatu yang sudah ingin dilakukannya sejak dia menyebabkan kematian Bunda bertahun-tahun silam.
Namun, apa yang ingin Bunda sampaikan padanya? Dibalik kenangan akan masa kecilnya, Kemuning harus mencari tahu maksud dari pesan-pesan misterius Bunda. Terutama karena dia tahu Bunda hanya muncul dalam mimpinya, dan dia juga tahu bahwa tak ada mimpi yang takkan berakhir.
Ada kata-kata yang tak sempat terucap oleh Bunda semasa hidupnya. Oleh karena itulah beliau datang ke dalam mimpi Kemuning—untuk menyampaikan apa yang tak sempat tersampaikan tujuh tahun yang lalu ketika beliau masih hidup.
Bertemu kembali dengan Bunda di dalam mimpinya mungkin merupakan kesempatan terakhir Kemuding untuk meminta maaf—sesuatu yang sudah ingin dilakukannya sejak dia menyebabkan kematian Bunda bertahun-tahun silam.
Namun, apa yang ingin Bunda sampaikan padanya? Dibalik kenangan akan masa kecilnya, Kemuning harus mencari tahu maksud dari pesan-pesan misterius Bunda. Terutama karena dia tahu Bunda hanya muncul dalam mimpinya, dan dia juga tahu bahwa tak ada mimpi yang takkan berakhir.
- - - - - - - - -
Kemuning, beberapa waktu yang lalu, dia mengalami duka. Kehilangan Ibunya. Satu-satunya orang tua yang dia miliki. Baginya, itu adalah salah satu pukulan yang amat berat. Mengingat mereka pernah bertengkar dan belum juga sempat bermaaf-maafan. Malam itu, Kemuning memimpikan Bundanya. Bunda hanya diam saja. Tidak berbicara, tidak marah dan tidak menangis. Malah Kemuning yang meminta maaf dan sempat menceritakan segalanya. Bagaimana kehidupannya sekarang, bagaimana pekerjaan dan juga hubungannya dengan Samudra, suaminya.
"Bahkan steik terenak di dunia takkan bisa menggantikan kebahagiaanku tiap kali Bunda pulang dari kantor lebih awal, kemudian mengajakku pergi ke restoran cepat saji yang ada di dekat rumah. Bagiku, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya." — P. 95Hampir beberapa kali Kemuning bermimpi. Hal yang ia impikan selalu mengajak kita mengetahui bagaimana keadaannya. Entah saat dia masih kecil, memasuki TK, SD, SMP hingga SMA. Bagaimana Kemuning kecil yang selalu bahagia dengan hal kecil, kemudian memasuki SMP, mulai sedikit memberontak, punya keinginan sendiri. Hingga saat SMA dan kemudian memiliki keluarga dengan Samudra. Bahkan diceritakan juga alasan kenapa dia sangat amat menyesal dan menganggap seharusnya Bunda marah ketika bertemu dengannya dalam mimpi.
Hmm.. Novel yang cukup sentimentil dan bikin nangis! Bener-bener ya. Aku berasa ngalamin sendiri gimana Kemuning. Awalnya, aku cukup heran, karena apa ya? Aku ngrasa aneh aja. Masih nggaj jelas gitu permasalahannya apa. Kenapa dia sebegitu ngrasa bersalahnya. Bahkan dia bilang, kalau dia yang ngebunuh Bunda, padahal diceritakan kemudian, Bunda itu serangan jantung. Dia juga nggak hamil di luar nikah. Malahan, dia sampai saat ini belum punya anak. Terus sisi mananya yang dia ngebunuh Bunda? Akhirnya, setelah baca sampe akhir, barulah kebuka, alesan apa yang bikin dia jadi ngrasa bersalah sampe sedemikian.
Setelah baca novel ini, aku ngrasa ketampar banget. Apalagi, aku sendiri juga pernah ngalamin bertengkar sama mama. Sampe nggak ngomong selama 3 hari. Setelah baca novel ini aku tuh ngrasa kayak, hmm.. nggak lagi-lagi deh bertengkar sama mama. Daripada nanti nyesel kan. Selain itu, waktu pas Kemuning SMP, dia juga sempat menolak nggak mau ngebekal atau bawa makanan dari rumah. Padahal maksud Bundanya baik. Sama banget sama mamaku. Dia bahkan sampe saat ini, aku kuliah, dia masih getol sanguin aku bekal. Malu? Iya, kadang aku malu, apalagi kampusku bisa dibilang cukup bergengsi. Tapi ya aku ambil hikmahnya aja. Kalo kelasnya rentetan nggak ada jeda, aku nggak perlu ke kantin buat makan cepet-cepet, trus balik lagi ke kelas cepet-cepet. Makanan tiap hari menunya ganti-ganti. Nggak kayak yang di kantin, itu-itu aja. Dan yang jelas, sayangilah si emak dan bapake. Mumpung masih ada, toh waktu yang kita punya setelah besar udah nggak banyak kan? Udah sibuk sama temen, pasangan dan yang lainnya. Ya manfaatin waktu sebaik-baiknya lah intinya.
Quotable :
"Mimpi adalah mimpi, Ning. Kamu boleh bermimpi apa saja selama kamu tidur, tapi itu nggak mengubah apa yang ada di dunia nyata. Bunda boleh datang ke mimpimu, tapi Bunda sudah nggak ada." — P. 21
"Bunda pikir, kalau memang suara tangisan inilah yang harus Bunda dengarkan setiap hari selama kamu masih bayi... Bunda nggak keberatan sama sekali." — P. 137
"Kamu tahu, Ning? Saat kamu pertama kali bersuara di ruang bersalin itu, Bunda berpikir: Ah, mungkin inilah suara malaikat yang dilahirkan ke bumi. Jadi inilah rasanya menjadi ibu." — P. 137
"Mengendarai sepeda berarti memberikan seorang anak kebebasan. Berarti seorang anak bisa pergi ke mana saja yang dia mau. Bahkan ketika orangtua mereka sudah nggak ada, anak-anak itu bisa melanjutkan kehidupan mereka. Karena mereka tahu gimana caranya menaiki sepeda—karena mereka tahu gimana caranya untuk maju." — P. 198
"Kamu harus belajar gimana caranya untuk berbahagia, Ning. Karena kebahagiaan itu bukan diberikan oleh siapa pun, tapi harus kamu raih sendiri." — P. 283
"Dan meski hidup nggak akan selamanya berjalan sesuai dengan kemauanmu, ingatlah bahwa kamu sudah berhasil hidup sejauh ini dengan kekuatanmu sendiri. Jangan lupakan semua yang sudah kamu lalui untuk mencapai titik ini." — P. 287
No comments:
Post a Comment