Sunday, August 5, 2018

[Review] Looking for Alibrandi


Judul : Looking for Alibrandi

Penulis : Melina Marcheta

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 359 Halaman

"Kalian tahu, sesuatu yang indah terjadi saat aku mengenang kembali satu tahun yang telah berlalu. "Suatu hari nanti" itu telah datang. Karena akhirnya aku mengerti."


BLURB

Josephine Alibrandi berumur tujuh belas tahun dan duduk di bangku terakhir SMA. Dia hidup bersama ibunya yang single parent dan nenek berpikiran kolot yang bikin pusing. Belum lagi dia harus melakukan persiapan untuk menghadapi ujian akhir. Namun, itu belum apa-apa. Josie masih harus menghadapi kenyataan bahwa ternyata tidak semua rencana yang dia susun dengan saksama dapat terwujud seluruhnya. Tanpa diduga dia harus menghadapi kenyataan bertemu ayahnya untuk pertama kali seumur hidup, jatuh cinta, dan membongkar rahasia keluarganya di masa lalu.

Terlepas dari semua kekalutan itu, tahun ini pula Josie belajar memahami bahwa kebebasan bukan berarti melupakan masa lalu. Ada kalanya, kau harus menjadi diri sendiri untuk dapat membebaskan dirimu...

- - - - - - - - - -

Josephine Alibrandi, alias Josie, cewek yang sedang dalam masa transisinya dari anak-anak menjadi remaja. Seperti remaja kebanyakan, dia memiliki banyak keinginan dan kebebasan dalam hidupnya. Keingininan untuk dianggap sama di Australia, karena dia keturunan Australia-Italia. Nggak hanya itu aja, persaingan yang cukup ketat di sekolahnya juga sempat bikin dia kesel.
"Bukan anak-anak muda yang tidak tahu sopan santun, Nonna. Tapi karena Nonna dan orang-rang seperti Nonna. Selalu saja mengkhawatirkan pendapat orang lain. Selalu saja membicarakan orang lain. Well, orang-orang juga membicarakan kita, Nonna, dan itu kesalahan Nonna sendiri karena tidak menghormati privasi orang lain, termasuk privasi anak dan cucu Nonna sendiri." — P. 56
Seperti Nenek kebanyakan yang selalu kepo, begitu pula dengan Nonna, alias Nenek Josie. Entah apa aja diceritain sama dia. Termasuk laki-laki masa lalunya yang dulu sempat membantunya. Tapi malah dari sanalah, Josie membuka satu rahasia yang menguak bagaimana masa lalu Neneknya dan juga Ibunya. Nggak hanya itu juga, struggle di sekolah juga mulai bermunculan. Nggak cuma sekadar bolos dan nggak kerjain tugas aja, tapi kali ini menyangkut nyawa seseorang. Lalu, bagaimana Josie menyikapi semua ini?


Novel ini novel terjemahan, tapi entah kenapa aku sukaaaa banget pas baca. Relate banget sama kehidupan kita sebagai anak remaja gitu loh! Hahaha.. Bener-bener mirip sama kehidupan nyata. Menceritakan gimana anak remaja yang lagi dalam masa pencarian jati dirinya gitu. Apalagi dia kan anak yang nggak punya Papa, karena alesan tertentu.Nggak cuma cerita tentang pencarian jati diri yang berujung terkuaknya satu rahasia masa lalu, tapi juga nyeritain gimana rasisnya anak-anak sekolah. Gimana perbedaan keuangan tiap siswanya udah jadi beda kasta. Dan yang jelas, gimana kehidupan sekolahnya. Anak-anak yang punya uang dan dituntut untuk jadi apa yang orang tua mereka pengen. Itu bener-bener relate banget sama kehidupan jaman sekarang.

Dengan alur yang maju dan kecepatannya sedang (menurutku), kita diajak untuk menyelami kehidupannya si Josie ini. Dan setelah baca, aku ngrasa jadi kayak anak yang kurang bersyukur banget. Dengan hidup yang lempeng-lempeng tanpa masalah yang dihadapi sama Josie. Meskipun kadang masalah itu cukup bikin aku tertekan. Ya, intinya, setiap kita punya masalah, kita nggak boleh langsung nyerah gitu aja. Hasilnya apa yaudah kita terima. Kita harus berjuang untuk dapet sesuai sama apa yang kita mau. Minimal berusaha dulu lah, akhirnya nanti gimana, ya urusan belakangan.

Quotable:
"Malam hari selalu membuatku takut. Aku benci suasananya yang sunyi senyap, terutama kalau aku tidak bisa tidur. Aku takut jangan-jangan semua orang mati dan aku baru tahu mengenai hal itu besok pagi." — P. 25

"Mungkin kami lebih banyak tahu, atau kami menganggap kami lebih banyak tahu, atau lebih banyak berbuat, padahal hidup kami tidaklah seberat mereka. Kami tidak akan pernah sanggup menghadapi tekanan yang dialami ibu dan nenek kamu dulu." — P. 112

"Hidup ini sangat memuakkan. Yang ada di otak kita hanyalah bagaimana caranya mencari uang dan menjadi orang hebat. Coba saja kau lihat, di mana-mana terjadi ketidakadilan, terorisme, dan prasangka, Josie!" — P. 187

"Dan terkadang, kalau harapan atau keinginan kita tidak terwujud, yang benar-benar terjadi biasanya justru sedikit lebih baik." — P. 213

"Tapi bukankah sudah suatu langkah maju kalau kita mau belajar? Menyedihkan, bukam, kalau kita ngotot bertahan dengan pendapat masing-masing?" — P. 265

"Karena foto adalah bukti bahwa seseorang benar-benar pernah hidup. Sesuatu yang mengingatkan kita pada masa lalu, baik masa lalu yang ingin dikenang maupun yang tidak. Sepenggal bagian dari hidup kita." — P. 273

"Tidak akan, Josie. Ayahku menjalani hidup sesuai keinginannya. Jadi, aku juga berhak menentukan nasibku sendiri. Masa depanku adalah milikku, terserah aku bagaimana hendak menjalaninya." — P. 314

"Kau akan melanjutkan hidup. Karena hidup itu tantangan, Josie. Mati bukanlah tantangan. Mati itu gampang. Kadang-kadang, hanya butuh waktu sepuluh detik untuk mati. Tapi hidup? Bisa jadi kau hidup sampai usia delapan puluh tahun dan kau melakukan sesuatu selama kurun waktu itu, apakah melahirkan bayi, menjadi ibu rumah tangga, pengacara, atau tentara. Kau mencapai sesuatu. Menyia-nyiakan itu semua, apalagi di usia yang masih sangat muda, tidak memiliki harapan, adalah tragedi yang sangat memilukan."  — P. 324

"Seseorang tidak akan punya harapan lagi kalau dia tidak punya impian. Karena impian adalah tujuan yang ingin dicapai, dan John mungkin sudah kehabisan tujuan. Jadi dia lebih memilih mati." — P. 328

No comments:

Post a Comment